Beraninya Ngumpet di Balik Politisasi Agama


Penulis: Stevi Dinda, Ilmu Politik 2021


Jika berbicara soal politisasi agama, rasanya sudah tidak asing lagi di telinga rakyat Indonesia. Isu sensitif ini selalu menjadi perbincangan hangat, baik di tengah penyelenggaraan kampanye pemilihan umum (pemilu) maupun ketika roda birokrasi sudah mulai berjalan.

Terus terang, sebagai bagian dari bangsa Indonesia, saya pun kerap malu dengan mentalitas negara ini yang masih terjebak di masa ketika Niccolo Machiavelli masih hidup, dijuluki “Bapak Perang.” Padahal, entah sudah berapa abad lamanya pemikiran beliau ditinggalkan karena mendorong ketidakstabilan sosio-politik. Pemikiran yang dianutnya terkategorisasi cukup keras dan sinis. Namun, ajaran-ajarannya nampak cocok apabila diterapkan pada masa lampau, ketika keadaan masyarakat berbeda. Akan tetapi, sistem pemerintahan sudah mengalami pembaruan. Seruan-seruan progresif seperti hak asasi manusia (HAM) sudah tersebar luas. Maka dari itu, rasanya kurang etis jika dibumikan pada zaman ini.

Saya yakin bahwa sebagian besar politisi bisa dibilang termasuk dalam golongan cendekiawan. Setidaknya, setelah menjadi penduduk tanah air selama berpuluh-puluh tahun – paling sedikit umurnya sudah berkepala 3 – mereka pasti mengetahui karakteristik bangsa Indonesia yang tumbuh dari keberagaman. Nilai pluralisme telah mendarah daging. Itulah yang kita yakini dalam seruan “NKRI harga mati!”

Fenomena politisasi agama pun menjadi bahan pertanyaan bagi kita. Mengapa harus memanfaatkan strategi ini? Di saat sistem demokrasi sudah sangat terbuka dan setiap umat beragama memiliki kesempatan yang sama untuk bisa memimpin. Ambil saja negara Singapura sebagai contoh, yang kita tahu bahwa mayoritas etnisnya adalah Tionghoa. Namun, tidak menutup kemungkinan terpilihnya Perdana Menteri untuk pertama kalinya yang beragama Muslim. Beliau adalah Halimah Yacob. Lalu, di negara Trinidad-Tobago, Noor Hassanali sebagai penganut agama Islam juga terpilih menjadi kepala negara di tengah rakyatnya yang kebanyakan memeluk keyakinan Katolik Roma.

Awalnya saya ingin benar-benar berpikir bahwa fenomena yang telah disinggung hanya sekadar fanatisme semata. Namun, nyatanya alasan tersebut jauh melampaui ambang batas itu. Sesuatu yang lebih kelam semakin dapat dirasakan. Sayangnya, untuk sementara waktu hal tersebut baru dapat dirasakan oleh kalangan menengah yang berstatus sebagai agen perubahan dari masa ke masa.

Ironis jika disandingkan dengan sistem pemerintahan dan cara berpolitik di negara Turki. Di sana mereka dengan sengaja menerapkan sekularisme. Menghargai dan menghormati agama sebagai hubungan suci yang hanya terjalin antara individu dengan Tuhan yang mereka akui. Sistem tersebut menuntut para pemimpin untuk berkompetisi secara murni serta progresif melalui unjuk kapabilitas dan kualifikasi.

Nomenklatur ini telah menyudutkan nilai demokrasi ke penghujung jurang. “Negeri di Ujung Tanduk” kalau kata Tere Liye. Kepelikan kausalitas agama dan politik ini cenderung menstimulus para politisi untuk memanfaatkan dialog “seiman dan seamin” daripada unjuk taring dengan prestasi kepemimpinannya. Diskresi seperti inilah yang harus disadari oleh khalayak bahwa agama hanya dijadikan personal branding.

Berkaca dari Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI 2017 lalu, penyeretan isu agama pun tidak terelakkan. Kampanye mengenai surga-neraka pun digencarkan. Hal tersebut muncul dalam beragam bentuk, mulai dari ancaman bahwa barangsiapa tidak memilih calon tertentu, maka mayatnya tidak akan disholatkan, hingga lemparan cap seorang pendosa bagi yang tidak memilihnya. Saya tidak habis pikir sebenarnya. Apa iya, itu yang disebut demokrasi? Jika memang kita ingin berdemokrasi, suara yang terhitung sah baru dapat dinyatakan apabila pihak yang memilih tidak berada di bawah paksaan atau tekanan.

Permasalahan berlanjut dengan terjadinya kasus penodaan agama di pesta demokrasi dalam Pemilu 2019. Kedekatan Indonesia dengan Tiongkok menuai kontroversi. Banyak yang menuding bahwa salah satu calon pasangan pemimpin nantinya akan berubah haluan menjadi anti-Islam dan diam-diam membangkitkan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI). Padahal dugaan itu belum tentu benar adanya. Mengapa para penuding tidak dapat melihat relasi Indonesa-Tiongkok hanya sebagai bentuk kerja sama bilateral?

Hal yang paling meresahkan bagi saya adalah ketika para pasangan calon (paslon) yang saya kritik bahkan tidak mencerminkan ajaran agama yang dijadikan senjata propagandanya. Kecacatan mereka dalam memanfaatkan unsur keagamaan demi memenuhi tujuan politiknya sangat terpampang. Baik dari pemahaman kitab sucinya yang dangkal, pemenuhan kewajiban yang setengah-setengah, dan bahkan kurangnya pengetahuan mereka terkait tata cara beribadah dalam agamanya. Bukankah itu memalukan? Macam bola ubi kopong.

 Suatu keprihatinan lainnya bagi saya adalah keberadaan beberapa pihak yang sudah dimabok agama yang tidak menyadari akal bulus calon pemimpinnya. Semudah itu diberi jaminan dan janji manis basi, seperti “Kamu bakal memperoleh pahala dan surga kalau kamu membantu aku meraup suara dari umatmu,” Selain itu, sindiran-sindiran yang penuh dengan praduga juga dilayangkan, seperti “Kalian bakal aku sejahterakan kok. Berbeda dengan calon sebalah, mereka pasti bakal mengabaikan hak beragama kalian, sebab mereka berbeda keyakinan.” Iya, bagus kalau betul begitu adanya, tetapi bagaimana kalau fakta menyatakan sebaliknya? Habis manis sepah dibuang. Orang-orang kecil pada akhirnya hanya bisa mengigit jari mereka termakan oleh persilatan lidah bersubstansi hasutan surgawi yang abal-abal.

Tidak perlu jauh-jauh mengambil sampel di tataran pemerintahan, bahkan di lingkup sekolah pun bibit-bibit yang melahirkan pihak-pihak yang telah disinggung sudah tertanam. Proses tersebut dimudahkan oleh indoktrinasi oleh sistem kejam yang direkayasa sedemikian rupa oleh para tenaga pendidik. Melalui indoktrinasi itu mereka dibujuk untuk memilih calon pemimpin yang sekiranya seiman karena menurut pendukungnya hanya agama merekalah yang paling idealis.

Menilik berbagai kasus di atas membuat diri kita lupa bahwa pada dasarnya semua ajaran agama itu baik. Hanya saja, acap kali orang sulit membedakan mana yang termasuk dalam prinsip “politik agama” dan “politisasi agama.” Presiden Soekarno dahulu memang mengatakan bahwa sebaiknya agama dijadikan landasan dalam berpolitik atau memerintah. Contoh ajaran keagamaan universal yang dapat dijadikan landasan berpolitik adalah kejujuran, sudah sepantasnya kita berperilaku jujur saat menjalankan amanah sebagai leader. Berbeda jauh dengan “politisasi agama” yang kerap dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan sempit.

Penistaan agama tidak selamanya datang dari pemeluk agama yang berseberangan. Hal tersebut juga terkadang datang dari kaumnya sendiri. Apakah kita dapat mencurigai penolakan sekularisme selama ini sebagai siasat untuk mencampuri politik dengan agama? Mengenakan jubah keagamaan sebagai alat untuk melegitimasi kebeneran semu atas kelakarnya yang jauh dari ajaran dan tradisi agam yang dianutnya.

Seharusnya mereka malu dengan salah satu warga Compang Ndejing, Edi. Bapak Edi mengucapkan kalimat yang akan saya gunakan untuk menutup opini ini, “Kami [akan] pilih pemimpin desa, bukan pemimpin agama.” Salam demokrasi!

REFERENSI

AR, Mindun. (2017, 10 Maret). Jenazah Nenek Hindun Ditelantarkan Warga Setelah Pilih Ahok. Diakses dari: https://www.liputan6.com/news/read/2882270/jenazah-nenek-hindun-ditelantarkan-warga-setelah-pilih-ahok.

Ali, Fidel. (2016, 11 Desember). Kasus Penistaan Agama Disebut untuk Menjegal Ahok dalam Pilkada DKI. Diakses dari Kompas.com: https://megapolitan.kompas.com/read/2016/12/11/20525641/kasus.penistaan.agama.disebut.untuk.menjegal.ahok.dalam.pilkada.dki?page=all.

Birdieni, Birny. (2018, 16 Oktober). Berbahaya! Kampanye Pilpres dengan Iming-iming Surga. Diakses dari Gatra.com: https://www.gatra.com/detail/news/355548-Berbahaya-Kampanye-Pilpres-dengan-Iming-iming-Surga.

Qurtuby, Sumanto. (2017, 13 April). Manipulasi Agama dalam Pilkada Jakarta. Diakses dari DW: https://www.dw.com/id/manipulasi-agama-dalam-pilkada-jakarta/a-38379477.

Putra, M. A. (2016, 30 November). Ahok: Orang Tak Mau Pilih Saya karena Dianggap Kafir. Diakses dari CNN Indonesia: https://www.cnnindonesia.com/kursipanasdki1/20161130103651-516-176264/ahok-orang-tak-mau-pilih-saya-karena-dianggap-kafir.

Nathaniel, Felix. (2018, 8 Desember). Isu Anti Islam dan PKI Gerus Elektabilitas Jokowi-Ma’ruf. Diakses dari tirto.id: https://tirto.id/isu-anti-islam-dan-pki-gerus-elektabilitas-jokowi-maruf-dboJ.

Alamijaya, Januar. (2017, 13 September). Selain Halimah Yacob, 5 Tokoh dari Kaum Minoritas ini juga Jadi Pemimpin Negara. Diakses dari: https://kaltim.tribunnews.com/2017/09/13/selain-halimah-yacob-5-tokoh-dari-kaum-minoritas-ini-juga-jadi-pemimpin-negara?page=all.

Sub Bagian Informasi dan Humas Kanwil Kemenag Kalteng. (2017, 27 Juli). Bedakan Antara Politik Agama dan Politisasi Agama. Diakses dari:  https://kalteng.kemenag.go.id/kanwil/berita/497263/Bedakan-Antara-Politik-Agama-dan-Politisasi-Agama.