Catatan dari Asia Selatan: Memprakrasai Suatu Masyarakat Islam Untuk Era Modern


Penulis: Bayu Muhammad Noor Arasy, Ilmu Politik UI 2019

Jika kita membicarakan Islam di Asia Selatan pada era kontemporer ini, sedikit yang bisa dibahas menggunakan nada sukacita yang bersifat optimis. Mulai dari kemerosotan demokrasi yang terjadi di Pakistan hingga kembali berkuasanya kelompok Taliban di Afganistan, semua menghadirkan Islam dalam citranya yang radikal dan berseberangan terhadap kemodernan. Sebagai contoh, tujuh bulan setelah merebut kekuasaan di Afganistan, Taliban memberlakukan larangan bagi para perempuan untuk menempuh pendidikan lanjut (The New Arab, 2022).

Banyak yang bisa kita bahas mengenai situasi dan kondisi republikanisme dan demokrasi di Pakistan sejak pembunuhan Perdana Menteri Benazir Bhutto pada tahun 2007, dan hanya catatan kelam-lah yang menemani negara itu. Sebelum melalui gejolak politik di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Imran Khan, Pakistan dikuasai pemerintahan konservatif yang silih berganti. Salah satunya adalah pemerintahan Presiden Pervez Musharraf yang berkoalisi dengan agamawan Islam untuk berkuasa secara tidak demokratis.

Memang betul jika dikatakan bahwa kecenderungan elit di Pakistan terhadap pemikiran konservatif dan mode pemerintahan yang tidak demokratis memiliki alasan. Khususnya, dalam lingkup pertahanan yang memosisikan elit-elit di Pakistan – terutama militer – sebagai kelompok yang membutuhkan sekutu yang bisa menggerakan massa dan sumber daya untuk menanggapi ancaman dari tetangganya, India (Ahmar, 2015:56). Salah satunya meliputi perseteruan di wilayah Jammu dan Kashmir; di situ, kekuatan-kekuatan jihad Islam dimobilisasi untuk menekan New Delhi agar hengkang (Ahmar, 2015:56).

Kendati alasan-alasan yang ada, tidak bisa dinafikan bahwa mode pemerintahan seperti itu menghadirkan suatu kehidupan tidak demokratis yang mengekang kebebasan, khususnya dalam kehidupan bernegara. Di Pakistan, seperti yang telah disinggung sebelumnya, hal ini meracuni kehidupan politik elektoral. Dengan ditekannya elemen-elemen yang berseberangan dengan status-quo konservatif, kehidupan sosial dan politik tidak akan berkembang secara signifikan. Afganistan yang menunjukkan kemandekan tersebut dalam tarafnya yang ekstrem, dengan adanya larangan bagi para perempuan untuk menempuh pendidikan lanjut.

Namun, apakah situasi dan kondisi ini selalu sama di Pakistan dan Afganistan? Atau secara umumnya, apakah masyarakat para muslim di Asia Selatan mengamini konservatisme keagamaan sejak lama? Apakah kemodernan dalam beragama – khususnya dalam hal berdemokrasi – tidak pernah menjadi perbincangan yang menarik dan prospektif di alam pikiran para muslim di kawasan itu? Tidak, Asia Selatan pernah menjadi obor yang menerangi jalan menuju kehidupan beragama Islam yang modern bagi para muslim kontemporer.

Mengenai Islam dan masyarakat modernan di Asia Selatan, terdapat dua tokoh utama yang warisan pemikirannya harus kembali diulas. Pemikiran-pemikiran mereka bisa menjadi dasar untuk mengembangkan kehidupan bermasyarakat ala Islam bagi muslim yang hidup pada era modern ini. Mereka adalah Sayyid Ahmad Khan (1817-1898) dan Muhammad Iqbal (1877-1938). Pemikiran kontroversial keduanya muncul dari refleksi mereka terhadap situasi dan kondisi yang dialami oleh para muslim di Asia Selatan pada saat itu. Khususnya dalam konteks adanya keperluan untuk membangun suatu negara yang akan merdeka dari Inggris.  

Dahulu, seperti yang ditemukan kini, kewarganegaraan menjadi isu yang menarik perhatian khalayak umum. Jika kini perbedaan sunni-syiah muncul sebagai bahan bakar agitasi massa dalam kontestasi elektoral di Pakistan, dahulu perbedaan muslim dan hindu dihadapi oleh Khan dan Iqbal (Ahmar, 2015:55). Jika kini penguasa di Pakistan dan Afganistan yang dikuasai oleh Taliban terkesan memerintah secara irasional dan tidak demokratis, dahulu Khan dan Iqbal berhadapan dengan potensi penyelewengan kekuasaan dan ketidakadilan yang menghantui kelompok minoritas di negara India yang akan diberikan kemerdekaan.

 Terkait dengan perbedaan-perbedaan yang bersifat primordial, seperti keagamaan, asal-usul geografis, dan pertalian darah, Khan melahirkan patriotisme dari suatu kompromi antara nasionalisme dan keagamaan. Secara terbatas, Khan mempromosikan pandangan inklusif yang menentang perpecahan internal di antara para muslim. Mengesampingkan perbedaan yang berbasis sekte, Khan mengatakan bahwa perbedaan dalam berkeyakinan bersifat ilahiah – antara manusia dan Tuhan-nya – dan tidak boleh menjadi faktor pemecah masyarakat di dunia (Malik, 1968:226).

Sejalan dengan pandangan yang memosisikan keyakinan sebagai urusan personal yang tidak membatasi interaksi antarwarga, Khan juga mempromosikan kesatuan antara warga muslim dan hindu yang ada di India. Baginya, kata “muslim” dan “hindu” hanya boleh digunakan sebagai istilah untuk membeda-bedakan orang secara keagamaan; tetapi, istilah tersebut tidak bisa digunakan untuk memecah identitas nasional orang-orang yang sejatinya adalah satu, yaitu warganegara India – sebelum terbentuknya Pakistan (Dar, 2018:12). Ini merupakan pelajaran yang penting bagi berbagai pemerintahan muslim yang kini mendasari sikap diskriminatif mereka berdasarkan perbedaan agama para warganya.

Kemudian, terkait dengan pemerintahan dan kekuasaan yang dimilikinya. Iqbal dengan tegas mempromosikan pandangan republikanisme yang didasari kepada ajaran-ajaran yang ada di dalam agama Islam. Iqbal memandang Islam sebagai agama egaliter yang tidak memberikan kekuasaan tertinggi kepada para aristokrat atau imam (Parray, 2011:90). Dengan hilangnya dua unsur tersebut dari skema kekuasaan Iqbal, masyarakat dengan cara parlementer hadir untuk mengatur dirinya sendiri berdasarkan ajaran-ajaran yang ada dalam agama Islam (Parray, 2011:90). Demikian, Iqbal menggangap penting agar dipertimbangkannya kehendak rakyat untuk mencegah terjadinya penyelewengan kekuasaan.

Mendasari demokrasi parlementer sebagai bentuk praktis dari republikanismenya, Iqbal menempatkan tiga batasan. Pertama, Iqbal memandang bahwa Tuhan memiliki kekuasaan tertinggi; kemudian, seseorang tidak boleh memiliki kekuasaan dalam urusan pemerintahan kecuali dirinya adalah penafsir hukum (lawmaker) yang juga mempertimbangkan kehendak rakyat; dengan kata lain, kekuasaan personal tidak akan dianggap absah; terakhir, keadilan absolut bagi seluruh anggota komunitas harus diberikan prioritas (Parray, 2011:91). Tiga ini menjadi landasan untuk republikanisme dan demokrasi ala Islam.

Dalam mengembangkan pemikiran-pemikiran yang sudah dielaborasikan sebelumnya, Khan dan Iqbal memegang teguh prinsip ijtihad, atau penafsiran kembali terhadap agama Islam sesuai dengan realita yang ditemukan pada suatu zaman. Khan dan Iqbal menentangkan ijtihad terhadap kepercayaan taqlid banyak muslim pada saat itu yang bersifat dogmatis. Dengan kata lain, Khan dan Iqbal mencari cara untuk menjadikan Islam relevan terhadap permasalahan-permasalahan yang ditemukan oleh para muslim yang hidup pada era modern.

Bagi Khan, ke-taqlidan para muslimlah yang bertanggungjawab terhadap kemunduran mereka di era yang semakin maju ke masa depan (Parray, 2011:85). Senada dengan Khan, Iqbal memandang ijtihad sebagai unsur yang penting dalam laju peradaban manusia. Menyepakati Ibnu Khaldun (1332-1406), Iqbal memandang sejarah manusia sebagai produk dari aksi-aksi kreatif berbagai orang, baik secara individual maupun kolektif (Sevea, 2012:123). Menyimpulkan pandangan keduanya, ke-taqlidan berbasis keagamaan dalam menentukan berbagai kebijakan pada era kontemporer akan menghalangi kemajuan para muslim.

Untuk mencegah kemunduran, Khan dan Iqbal berniat untuk membuka kembali pintu ijtihad. Agar Islam dan peradaban muslim kembali disegarkan oleh penafsiran-penafsiran baru yang tidak hanya menanggapi, tetapi juga menjawab tantangan-tantangan pada era modern ini. Hal itulah yang tidak ditemukan sebagai spirit dalam tubuh pemerintahan-pemerintahan muslim pada era kontemporer ini, terutama yang ada di kawasan Asia Selatan. Adanya halangan bagi para perempuan untuk menempuh pendidikan lanjut menjadikan Afganistan terbelakang. Kesewenang-wenangan pemerintah di Pakistan menghambat perkembangan dalam kehidupan sosial, politik, dan ekonomi warganya.

Adalah bijaksana bagi umat Islam di Asia Selatan khususnya, dan umat Islam di seluruh dunia secara umum untuk mengingat dan menelaah warisan intelektual para pemikir Muslim yang sebelumnya meletakkan batu bata untuk bangunan masyarakat Islam modern. Agama terbukti menjadi faktor yang masih dipertimbangkan secara serius; tetapi, agama, atau lebih tepatnya penafsiran terhadapnya harus memperhatikan situasi dan kondisi dunia terkini. Kegagalan agama dan para penafsirnya untuk melakukan itu akan menjadikan agama sebagai faktor yang menghambat laju perkembangan masyarakat pada era kontemporer ini.

Referensi

Ahmar, Moonis. “The Dynamics of Elite Politics in Pakistan and its Nexus with Clergy and Military During Musharraf’s Era.” Journal of South Asian and Middle Eastern Studies, Vol. 38, No. 2 (Okt., 2015), hlm. 44-64.

Dar, Farooq Ahmad. “Sayyid Ahmad Khan and Hindu-Muslim Question in India.” Journal of the Research Society of Pakistan, Vol. 55, No. 2 (Jul-Des., 2018), hlm. 11-24.

Haris, Mujtaba. “The Taliban’s ban on girls’ education threatens Afghanistan’s future.” https://english.alaraby.co.uk/opinion/taliban-ban-girls-school-threatens-afghanistans-future (diakses pada 08 Juli 2022).

Malik, Hafeez. “Sir Sayyid Ahmad Khan’s Doctrines of Muslim Nationalism and National Progress.” Modern Asian Studies, Vol. 11, No. 3 (1968), hlm. 221-244.

Parray, Tauseef Ahmad. “Islamic Modernist and Reformist Thought: A Study of the Contribution of Sir Sayyid and Muhammad Iqbal.” World Journal of Islamic History and Civilization, Vol. 1, No. 2 (2011), hlm. 79-93.

Sevea, Iqbal Singh. The Political Philosophy of Muhammad Iqbal: Islam and Nationalism in Late Colonial India. New York: Cambridge University Press, 2012.