Penulis: Margaretha Giftania Vonta, Ilmu Politik 2021
Membahas demokrasi, kita berhadapan dengan suatu permasalahan klasik yang rumit, permasalahan tersebut fundamental dan aktual. Dikatakan klasik karena masalah demokrasi sudah menjadi fokus perhatian dalam diskursus-diskursus filosofis semenjak zaman Yunani Kuno yang terjadi di polis Athena. Dikatakan fundamental karena hakikat demokrasi menyentuh nilai-niai dasar kehidupan tentang apa dan bagaimana sistem kehidupan itu akan dimanfaatkan oleh manusia yang menjadi subjek sekaligus objek pembahasan ini. Dikatakan aktual karena dewasa ini demokrasi menjadi dambaan setiap bangsa dan negara, termasuk bangsa Indonesia pada era Reformasi ini (Siswomirhajo, 2002, hlm. 1).
Untuk dapat mewujudkan sistem pemerintahan yang ideal, demokrasi mensyarakatkan pemahaman mendalam tentang cara bekerjanya. Demokrasi tidak berarti seolah-olah “rakyat menjalankan pemerintahan” yang notabene tidak pernah terjadi dan memang juga berlawanan dengan logika pemerintahan itu sendiri.
Dalam konstelasi kekuasaan suatu negara, rakyat tetap saja terbatas dalam kepemilikannya atas kekuasaan. Meskipun Konvensi Montevideo tahun 1923 menegaskan kedudukan rakyat sebagai satu dari tiga faktor konstitutif negara, rakyat itu sebenarnya tidak pernah menentukan hidupnya sendiri. Bukti empiris dalam sejarah selalu memperlihatkan bahwa tidak pernah rakyat banyak itu menjalankan pemerintahan (atau apalagi menentukannya). Sebaliknya, bukti empiris sejarah cenderung memperlihatkan bahwa suara elitlah yang mengendalikan kehidupan politik (Kusumohamidjojo, 2020, hlm. 119).
G30STWK merupakan suatu peristiwa kelam yang menimpa lima puluh enam pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah mengabdi selama bertahun-tahun untuk memberantas korupsi di Indonesia. Bertepatan dengan tanggal 30 September lalu, para pegawai yang tidak lulus dalam seleksi Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) terpaksa harus membersihkan mejanya dari tumpukan dokumen kasus korupsi dan angkat kaki dari gedung KPK. Bukan hanya bagi para pegawainya, tetapi kasus pemecatam ini adalah kabar duka bagi Indonesia, sebab sekali lagi KPK kembali dilemahkan fungsinya. Mengapa bisa terjadi? Inilah yang mendorong penulis untuk mencari korelasi antara masalah tersebut dan sistem demokrasi di Indonesia.
Dalam kenyataannya, sebagaimana ditunjukkan oleh banyak negara yang baru ingin menjalankan demokrasi, proses pelembagaan partisipasi rakyat serta jalannya praktik lembaga-lembaga pemerintahan yang demokratis itu kerap kali bersandar kepada pemahaman yang dangkal terhadap demokrasi serta kekurangcakapan dalam menjalankan lembaga-lembaga pemerintahan yang demokratis. Jika dibandingkan dengan sistem pemerintahan otoriter yang memperlihatkan konsentrasi kekuasaan nyaris secara kasat mata, demokrasi memang tampil sebagai skema yang kompleks dan tidak langsung memperlihatkan di mana letak fokus kekuasaan itu bersemayam, karena kekuasaan mengalami diseminasi dalam sistem yang demokratis. Di samping hambatan-hambatan konseptual itu, demokrasi juga kerap mengalami hambatan semata-mata karena tidak adanya keinginan untuk melaksanakan pembagian kekuasaan (power sharing) secara terbuka. Sebabnya sederhana saja: pelaku-pelaku lama sudah terlanjur menikmati pola pemerintahan prademokrasi yang menguntungkan bagi mereka, sehingga mereka akan mempertahankan status quo dengan sedapat mungkin mengganjal proses demokratisasi. Mereka tampil sebagai pemerintahan yang pura-pura konstitusional dan penguasa-penguasa yang hanya pura-pura demokratis.
Pelemahan KPK sebagai sebuah lembaga negara yang masuk ke dalam rumpun eksekutif merupakan hambatan terhadap demokrasi yang memicu kontroversi di ruang publik. Sejumlah pihak menilai kasus pemecatan pegawai KPK yang tidak berhasil melewati TWK sebagai bentuk pembangkangan terhadap instruksi presiden. Presiden sebelumnya telah mengatakan bahwa hasil TWK tidak serta merta dapat dijadikan sebagai dasar memberhentikan pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos. Salah satu pihak yang menentang keputusan ini adalah pakar hukum tata negara, Fery Amsari. Menurut beliau, ada lima tahapan yang tercantum dalam pasal 69B UU 19 Tahun 2019 tentang KPK dan Pasal 4 PP 41 Tahun 2020. Kelimanya bersifat lex specialis yang artinya urusan kepewagaian di KPK memiliki aturan yang lebih khusus yang menaunginya, meskipun UU Aparatur Sipil Negara (ASN) dijadikan sebagai dalih.
Tahap pertama yang dituliskan pasal tersebut ialah penyesuaian jabatan-jabatan di KPK yang ada saat ini menjadi jabatan-jabatan Aparatur Sipil Negara (ASN) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kedua, melakukan identifikasi jenis dan jumlah pegawai KPK yang ada saat ini. Ketiga, memetakan kesesuaian kualifikasi dan kompetensi serta pengalaman pegawai KPK dengan jabatan ASN yang akan diduduki. Keempat, melakukan pelaksanaan pengalihan pegawai KPK sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 menjadi PNS atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Terakhir, pemerintah harus menetapkan kelas jabatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ferry menuturkan bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN tidak bisa menjadi acuan alih status pegawai KPK ke ASN, begitu pula dengan keputusan MK nomor 70/PUU-XVII/2019 (CNN Indonesia, 2021). Melihat sumber undang-undang yang digunakan sebagai acuan penilaian terhadap pemecatan pegawai KPK menjadi bukti nyata degradasi fungsi KPK dalam aspek independensinya.
Penulis tertarik menghubungkan topik ini dengan pemikiran seorang ahli pemikir politik Barat yang namanya sudah tak asing di telinga publik, Thomas Hobbes. Hakikat alamiah yang melekat kepada diri manusia menurut Hobbes telah melahirkan persaingan sesama manusia. Dalam usaha memaksimalkan kebahagiaan dan meminimalkan penderitaan diri, manusia akan berhadapan dengan manusia lain. Mereka yang kalah dalam persaingan akan tersingkir, sedangkan yang menang akan berkuasa. Asumsi tersebutlah yang membuat Hobbes berpendapat bahwa kehidupan manusia akan selalu diwarnai oleh persaingan dan konflik kekuasaan.
Hobbes dikenal tidak setuju dengan bentuk negara demokrasi atau sejenis dewan rakyat sebab negara demokrasi, menurutnya, menuntut adanya pluralisme politik, termasuk dalam arti adanya berbagai pusat-pusat kekuasaan. Menurut Hobbes, negara dengan seorang penguasa yang kuat akan mampu konsisten dengan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan; sedangkan; bila suatu negara dikuasai oleh sebuah dewan besar, kebijakan-kebijakannya akan mudah berubah. Baginya, negara dengan sebuah dewan rakyat sebagai penguasanya mudah mengalami disintegrasi. Keretakan dalam hubungan antara anggota-anggota dewan dapat mengakibatkan terjadinya polarisasi kekuatan dalam negara yang nantinya berpotensi merusak keutuhan dan kedaulatan negara (Suhelmi, 2001, hlm. 179).
Penulis mencoba menganalisis sebuah korelasi antara kasus pemecatan pegawai KPK dan teori negara menurut perspektif Hobbes. Bila melihat pasang surut perjalanan panjang demokrasi di Indonesia, bukanlah mustahil apabila pelemahan fungsi KPK melalui pemecatan pegawainya terjadi. Seperti yang dikatakan Hobbes, demokrasi menuntut pluralisme politik dan di dalamnya terjadi pembagian kekuasaan antara lembaga satu dan lembaga lain. Dengan adanya banyak lembaga ini, setiap pemegang kekuasaan tentunya ingin mempertahankan kekuasaannya masing-masing. Pemecatan pegawai KPK juga berlawanan dengan aturan hukum yang berlaku, bahkan menentang instruksi presiden. Hal tersebut juga membuktikan bahwa kebijakan suat lembaga ditentukan sendiri oleh lembaga tersebut, bukan dari konstitusi atau perintah penguasa negara yang bersangkutan (e.g. presiden). Kebijakan tersebut berubah sesuai dengan kehendak pihak-pihak yang mendominasi kekuasaan di lembaga terkait.
Di Indonesia, rakyat dengan kemampuan menengah ke bawah masih lebih sibuk berkutat dengan persoalan daily survival atau kebutuhan hidup sehari-hari ketimbang kebebasan berpendapat. Kebanyakan rakyat Indonesia tidak pusing dengan amanat kemerdekaan yang tertulis dalam UUD 1945, tetapi tidak bisa di temukan di rumah sakit, sekolah, pasar, atau kantor polisi. Jika berwacana tentang tujuan negara seperti apa yang diinginkan masyarakat, mereka tidak akan sibuk memikirkan apakah keadilan akan dicapai melalui demokrasi atau tidak. Akan tetapi, mereka akan mudah tersulut jika demokrasi tersebut tidak mendatangkan kemakmuran atau keadilan, dan sebaliknya justru malah menambah kesulitan hidup mereka. Di situlah letak risiko dari kemunafikan politik yang walaupun kasat mata tetapi terasa kentara dalam kehidupan sehari-hari rakyat (Kusumohamidjojo, 2020, hlm. 119). Apabila rakyat sudah tidak percaya lagi kepada demokrasi dan kebijakan pemerintah, maka tidak menutup kemungkinan bahwa krisis politik seperti yang terjadi di era Presiden Soeharto akan terulang kembali pada masa mendatang.
Politik sebagai suatu aktivitas pada dasarnya ada untuk mengupayakan sebuah tatanan negara yang baik. Akan tetapi, terminologi tersebut sering disalahgunakan oleh para oknum yang tidak bertanggung jawab, sehingga kini banyak yang mengenal politik sebagai sarana untuk mencapai tujuan dengan cara menghalalkan semua cara. Apabila budaya politik di Indonesia tidak dapat menciptakan sebuah iklim demokratis yang baik, Indonesia tidak akan dapat mencapai demokrasi yang terkonsolidasi, sebagaimana yang dicita-citakan.
Hobbes, seperti Plato, banyak memetik pelajaran dari kisah-kisah sejarah bangsa Yunani, khususnya mengenai kehancuran Athena yang disebabkan karena perang saudara. Baik Plato maupun Hobbes, keduanya menarik kesimpulan bahwa perang sipil diakibatkan oleh terbelahnya kekuasaan negara di Athena, meskipun tidak mutlak. Demokrasi, yang menganut prinsip pembagian kekuasaan, dianggap sebagai biang keladi perang sipil di negara Athena (Suhelmi, 2001, hlm. 179).
Penulis merasa miris melihat kondisi KPK yang semakin lama semakin tidak terarah. Banyak koruptor yang telah merugikan negara hingga miliaran rupiah, tetapi tidak dihukum sepadan dengan perbuatannya. Kini, para pegawai KPK yang telah bekerja bertahun-tahun mengabdi untuk negara juga harus diberhentikan hanya karena tidak mampu melewati TWK. G30STWK telah menjadi bukti nyata terkorupsinya kekuasaan KPK. Indonesia kini benar-benar berada dalam situasi defisit suara kritis kepada pemerintah. Demokrasi yang maknanya adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat sepertinya hanya menjadi utopia semata.
Indonesia, jika demokrasinya terus dikorupsi, akan sulit terlepas dari berbagai permasalahan sosial. Tidak hanya itu, jurang ketimpangan yang sudah ada akan semakin menganga lebar. Sebab, apapun dan berapapun gagasan mulia yang dicantumkan dalam konstitusi, tetapi tidak kunjung terwujud dalam realitas sosial, maka semuanya akan kehilangan harganya di mata rakyat yang berhadapan dengan kondisi krisis. Hal tersebut mampu menghasilkan political broken window di masyarakat. Didefinisikan oleh James Wilson dan George Kelling pada tahun 1982, broken window diartikan sebagai bergulir dan bertambahnya permasalahan sosial akibat tidak teratasinya satu masalah yang sudah ada. Political Broken Window merupakan penampakkannya di ranah perpolitikan.
DAFTAR PUSTAKA
CNN Indonesia. “Pakar: Pemecatan 51 Pegawai KPK Tak Bisa Pakai UU ASN.” diakses dari https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210527200916-12-647648/pakar-pemecatan-51-pegawai-kpk-tak-bisa-pakai-uu-asn/2, pada tanggal 17/09/2021, pukul 07.30.
Kusumohamidjojo, Budiono. (2015). Filsafat Politik: dan Kotak Pandora Abad ke-21, Edisi 2. Bandung: Yrama Widya.
Psychology Today. “Broken Window Theory.” diakses dari https://www.psychologytoday.com/us/basics/broken-windows-theory, pada tanggal 17/09/2021, pukul 12:01.
Sari, Herlina. (2019). Wajah Demokrasi Indonesia: Pasca Pelantikan Hasil Pemilu 2019. Bandung: Lemah Media Pustaka.
Siswomihardjo, Koento Wibisono. (2003). “Demokrasi Sebagai Sarana Kehidupan Berbangsa dan Bernegara.” Jurnal Ketahanan Nasional, Vol. 8, No. 2 (April 2003), hlm. 39-48.
Suhelmi, Ahmad. (2001). Pemikiran Politik Barat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka.