Ilha Formosa: Akankah Jadi Gerbang Awal Perang Sino-AS?


Penulis: Margaretha Giftania Vonta, Ilmu Politik 2021

Beberapa tahun terakhir, ketegangan politik dunia internasional semakin memanas, utamanya hubungan China dan Taiwan. Seperti kita tahu, Taiwan terjebak dalam situasi yang sulit. Letak geografi tetap Taiwan yang berjarak 90 mil dari Daratan Tiongkok membuat pemerintahan RRC di Beijing mengeluarkan statement bahwa wilayah Taiwan berada di bawah yurisdiksi negaranya. Yurisdiksi adalah kekuasaan atau kompetensi hukum negara terhadap orang, benda, atau peristiwa (hukum). Yurisdiksi negara (state jurisdiction) tidak dapat dipisahkan dari asas kedaulatan negara (state sovereignty) karena negara memiliki kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dalam batas-batas teritorialnya (territorial sovereignty). Hal ini merupakan konsekuensi logis dari asas kedaulatan negara (Marpaung: n.d.,1).

  Pada dasarnya, Taiwan termasuk ke dalam kawasan dalam negara dan merupakan salah satu provinsi di China. Taiwan secara de facto merupakan negara berdaulat, tetapi secara de jure bukanlah negara yang merdeka dan berdaulat sebab belum banyak diakui sebagai sebuah negara oleh dunia internasional. Inilah mengapa keabsahan Taiwan sebagai sebuah negara selalu dipertanyakan. Tiongkok menganggap Taiwan sebagai ‘provinsi pemberontak’. Otoritas pemerintahan Tiongkok menginginkan rakyat Taiwan untuk menerima dan tunduk di bawah kekuasaannya.

  Sejak Oktober 1912, ROC (Republic of China) telah menjadi negara independen yang tidak pernah berada di bawah kontrol kekuasaan RRC. Namun, Taiwan merasa bahwa China secara konstan berusaha menghalangi usahanya dalam berpartisipasi di panggung dunia. One China Policy atau kebijakan ‘Satu Tiongkok’ adalah contohnya. China mengancam untuk memutuskan atau menurunkan hubungan dengan negara mana pun yang melibatkan Taiwan atau mengakui pemerintahan Taiwan. Indonesia turut menjadi salah satu negara yang terikat dengan kebijakan ini.

  Hubungan Taiwan dengan kebanyakan negara di dunia dianggap unik mengingat Taiwan bukanlah anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan dengan demikian merupakan sebuah negara yang tidak diakui oleh sebagian besar negara dalam tataran internasional. Oleh sebab itu, hubungan Taiwan dan negara-negara internasional hanyalah sebatas hubungan di bidang ekonomi, contohnya perdagangan. Hal ini merupakan imbas diberlakukannya One China Policy oleh RRC sebagai upayanya melakukan reunifikasi.

  One China Policy atau kebijakan ‘Satu Tiongkok’ merupakan kebijakan yang menunjukkan bahwa hanya ada satu Tiongkok yang berdaulat, karena itu Taiwan dianggap merupakan bagian dari Tiongkok dan tidak dianggap sebagai negara. Pemerintah Tiongkok juga mengakui wilayah seperti Hongkong dan Macau sebagai negara yang terintegrasi dengan Tiongkok, sehingga hubungan kerjasama dengan wilayah tersebut harus melalui pemerintah Tiongkok. Kebijakan ‘Satu Tiongkok’ ini memaksa Taiwan untuk tunduk pada kebijakan pemerintah RRC (Syafiqa, 2016; Wabiser, 2015).

Menariknya, di tengah upaya China untuk melakukan reunifikasi Taiwan dalam wilayah teritorialnya, rival terbesar RRC, Amerika Serikat, tak pernah berhenti melakukan intervensi. Bersandar pada Taiwan Relations Act (TRA) yang telah berlaku sejak 1979, AS merasa berkewajiban untuk membantu dan melindungi Taiwan. Sejarah awal hubungan AS-Taiwan adalah perang Korea yang pada masa ini, AS di bawah panji-panji PBB membantu Korea Selatan dan sebaliknya, China membantu Korea Utara. Dampak dari situasi ini membawa AS melakukan perjanjian dengan pemerintahan Taiwan, yaitu Mutual Deference Treaty (1954) untuk membantu Taiwan menanggulangi masalah ancaman China. Pada tahun 1954 di saat perang dingin berlangsung tepatnya setelah perang Korea usai, AS dan Taiwan membuat suatu perjanjian yang sebelumnya pada saat itu AS membantu Kuomintang (Partai Nasional Tiongkok) dalam pelarian dari RRC dan membantu melawan serangan dari RRC. Dan setelah itu, AS mulai membuat suatu perjanjian terhadap Taiwan, yaitu Mutual Defense Treaty dan MAAG (Militer AS Advisory Group) di Taipei. Tidak hanya menjamin keamanan dan kelangsungan pemerintah ROC di Taiwan. Di dalam perjanjian AS-Taiwan, Amerika Serikat bertanggung jawab atas keamanan dan pertahanan Taiwan. AS memberikan bantuan kepada militer Taiwan, seperti sistem persenjataan canggih, dukungan perangkat lunak yang besar, serta mengerahkan beberapa pasukan militernya ke selat Taiwan untuk menjaga keamanan Taiwan dari ancaman China. Sejak saat itu, AS selalu memberikan supply bantuan ekonomi dan militer kepada Taiwan demi pertahanan keamanan dan masa depan pembangunan Taiwan. Hubungan kedua negara ini berlangsung hingga tahun-tahun berikutnya dan pada 1965, Taiwan menyatakan diri mampu berdiri secara independen secara ekonomi, tetapi masih membutuhkan bantuan militer AS untuk menyokong pemerintahannya.

  Kebijakan AS terhadap Taiwan hampir tidak pernah berubah, yaitu tetap sebagai pemasok senjata utama Taiwan. AS terus menunjukkan komitmennya untuk menjalin kerjasama dengan Taiwan dalam hal ini kepentingan ekonomi lewat perdagangan senjata dengan Taiwan. Hal ini disebabkan bukan hanya karena AS memiliki komitmen untuk melakukan apa saja guna mengakomodir kepentingan negaranya.  Faktor eksternal yang turut mempengaruhi yaitu ancaman kebangkitan kekuatan Sang Naga. China kini dikenal sebagai pusat gravitas ekonomi Asia kini sangat berambisi untuk memperkuat posisinya di peta Asia dengan membangun koalisi regional yang semakin masif dan ekspansif. Bagi AS, reunifikasi akan membuat China semakin berkembang pesat secara ekonomi dan militer. Apabila hal ini dibiarkan, otomatis hegemoni AS di Asia akan dirampas oleh China sehingga AS sengaja memanfaatkan konflik China dengan Taiwan sebagai senjata strategis untuk melawan Beijing.

  Indikasi adanya kepentingan yang bertolak belakang antara China dan AS membuat Taiwan terkesan seperti area pertarungan kedua raksasa dunia. Bagi China, Taiwan adalah pulaunya yang hilang. Para pemimpin Tiongkok percaya, bersatunya Taiwan dan China akan membuat negara ini menjadi semakin jaya di mata dunia. Itulah sebabnya, unifikasi Taiwan dan China menjadi impian terbesar para presiden Negeri Tirai Bambu ini dari tahun ke tahun. Lain halnya dengan AS. Bagi Negeri Paman Sam, Taiwan merupakan sebuah peluang besar untuk menunjukkan tajinya. Setelah sempat rehat sejenak dari dunia perpolitikan dunia imbas penarikan tentaranya dari Afghanistan, AS kembali mengobarkan semangatnya lewat dukungannya kepada Taiwan dalam menghadapi ancaman China. Walaupun dalam perjalanannya, AS menunjukkan sikap politik luar negeri yang ambigu terhadap perjanjian AS-China, Shanghai Communiqué dan Joint Communique Sino-Amerika, tetapi lewat utusan presiden, James Lilley, AS menyerukan bahwa negara ini tidak akan meninggalkan ROC dan tetap memegang teguh janji yang ada di dalam TRA. AS menyatakan bahwa stabilitas dan perdamaian di kawasan Taiwan merupakan bagian dalam kepentingan AS.

  Lalu, apakah perebutan kekuasaan ini akan menjadi gerbang pembuka perang yang sesungguhnya antara China dan AS? Berdasarkan pandangan penulis, tidak menutup kemungkinan hal ini terjadi, mengingat ketegangan antara China dan Taiwan yang kini berada di taraf terendah sepanjang sejarah. Hal ini juga didukung oleh situasi perpolitikan global yang panas akibat perebutan hegemoni kekuasaan antara China dan AS. Menurut perspektif penulis, jika perang akan benar-benar terjadi maka dampak yang dihasilkan akan begitu signifikan, apalagi Taiwan baru-baru ini meminta dukungan Australia yang menjadi mitra AS dalam pakta AUKUS (Australia-Inggris-AS). Apabila seluruh mitra AS turut serta ambil bagian dalam ketegangan China-Taiwan, maka kedaulatan Laut China Selatan (LCS) dan stabilitas keamanan kawasan Indo-Pasifik berpeluang besar ikut terkena imbasnya. Ketegangan militer China-Taiwan tentu tidak menutup kemungkinan akan memicu terjadinya perlombaan senjata di kawasan Indo-Pasifik. Inilah yang menjadi ketakutan terbesar negara-negara di ASEAN, tak terkecuali Indonesia, sebab permasalahan ini akan berimbas pada terganggunya kedaulatan wilayah negara-negara yang bersinggungan dengan Laut China Selatan. Terkhusus bagi Indonesia, perlombaan senjata di kawasan ini dapat membahayakan kedaulatan Indonesia di wilayah Natuna, Kepulauan Riau.

Ketegangan hubungan AS-China dapat dengan mudah berubah menjadi perang terbuka jika tidak dikelola dengan hati-hati. Persaingan antara kekuasaan yang sedang meningkat dan yang sudah ada seringkali mendahului konflik militer atau periode konfrontasi dan ketidakstabilan panjang. Pusat gravitasi geografis ketegangan hubungan kedua kekuatan global ini ialah di kawasan Indo-Pasifik. Kawasan ini menjadi arena flashpoint yang membuat kepentingan mereka bertabrakan dan ada pemicu potensial untuk konfrontasi militer seperti Korea Utara, Laut China Timur dan Selatan, Hong Kong, dan Taiwan. Tentunya, jika hal itu tidak segera mereda, ketegangan ini dapat memperburuk situasi internasional, imbasnya era persaingan strategis akan semakin meningkat yang kemudian menyebabkan terganggunya perdagangan internasional dan ketertiban dunia.

REFERENSI

Marpaung, Leonard. “Yurisdiksi Negara Menurut Hukum Internasional” https://diskumal.tnial.mil.id/fileartikel/artikel-20180511-152350.pdf (akses pada 25 November 2021).

Mubah, A. Safril. (2014) “Kajian Historis atas Kompleksitas Isu Taiwan dalam Hubungan China dan Amerika Serikat”. Global & Strategis, Th. 8, No. 2. hlm. 321—337.

Gildart, Samuel G.  (2019) China-Taiwan Relations: A New Paradigm in 21st Century East Asia Relations. https://core.ac.uk/download/pdf/228878057.pdf (akses pada 26 November 2021).

Wangke, Humphrey. (2020) “Ketegangan hubungan AS-China dan Dampaknya Terhadap Indonesia” Kajian Singkat Terhadap Isu Aktual dan Strategis, Vol. XII, No. 15/Puslit/Agustus/2020. hlm. 7—12.