Penulis: Anonim
Sekali lagi, rekam jejak buruk kekerasan seksual di Departemen Ilmu Politik FISIP UI yang kami cintai terbuka kepada publik. Tidak tanggung-tanggung, dan dengan penuh kesinisian kami menanggapi ini, korban yang menderita adalah seorang dosen. Hal tersebut semakin menunjukkan bahwa departemen tempat kami belajar masih belum bisa memberikan keamanan dari kekerasan seksual, bahkan kepada tenaga pengajarnya.
Untuk itu, kami ingin mengajak rekan-rekan mahasiswa dan tenaga pengajar di lingkungan S1 Ilmu Politik FISIP UI untuk merenungkan kembali apa yang telah diajarkan dan dipelajari di ruang-ruang kelas.
Mari kita mulai renungan kita dengan mengungkit sejenak aspek fundamental dalam perpolitikan. Demi menjangkau pembaca yang luas, mulai dari mahasiswa baru di semester satu hingga tenaga-tenaga pengajar yang mengajari mereka, aspek fundamental yang akan kita bicarakan akan disuling dari buku Dasar-Dasar Ilmu Politik yang ditulis oleh almarhumah Ibu Miriam Budiardjo yang sama-sama kita banggakan.
Apa itu politik? Mengutip dari Peter Merkl (1967) di Dasar-Dasar Ilmu Politik, politik adalah usaha untuk mencapai suatu tatanan sosial yang baik dan berkeadilan (Budiardjo, 2017, hlm. 15). Budiardjo menegaskan bahwa unsur “baik” dan “berkeadilan” akan tetap menjadi latar belakang serta tujuan politik, bagaimanapun keadaan di balik pelaksanaan politik tersebut. Ini merupakan sebuah garis besar yang tidak dapat dikesampingkan oleh kita sebagai orang-orang yang mempelajari ilmu “politik.”
Sekarang, mari kita bertanya kepada diri kita masing-masing. Di mana kebaikan dan keadilan di dalam kasus pelecehan seksual yang dialami oleh salah satu dosen kami? Apakah tanggapan pihak-pihak yang bertanggungjawab di departemen sudah menunjukkan unsur “baik” dan “adil?” Permintaan mereka agar korban melupakan kejahatan yang menimpanya sama sekali tidak adil. Mengapa korban harus menanggung rasa malu demi kenyamanan hati pelaku yang melakukan kejahatan keji ini? Di mana letak “kebaikannya?”
Kemudian, apakah tindakan departemen selaku pihak yang seharusnya bertanggungjawab bisa mewujudkan “kebaikan” dalam berpolitik, dalam artian menciptakan lingkungan yang baik? Tidak, sama sekali tidak! Lingkungan yang tidak memberikan rasa aman kepada anggotanya, baik mahasiswa, mahasiswi, maupun dosen dalam kasus ini tidaklah baik.
Demikian, kita harus mempertanyakan, dan bahkan meragukan komitmen departemen untuk mengajarkan perpolitikan secara komprehensif. Bagaimana kita bisa mengajarkan dan mempelajari ilmu kita apabila pihak-pihak yang bertanggungjawab untuk menyebarkan ilmunya itu sendiri berperilaku kontradiktif. Bagaimana kita bisa mengamini unsur “baik” dan “adil” dalam perpolitikan apabila pihak-pihak di departemen malah mengelakan bahu dari dua unsur tersebut dengan tindakannya terhadap salah satu tenaga pengajarnya?
Terakhir, sebagai komunitas pengajar dan penimba ilmu politik di salah satu universitas ternama di Indonesia; yang terbaik bahkan jika kita bertanya kepada beberapa orang, sudah seharusnya kita merasa malu. Sebagai pihak yang memandang dirinya sebagai salah satu mercusuar ilmu dan moral bagi rakyat Indonesia, kita tidak bisa dikatakan telah menjadi teladan yang baik! Percuma saja kita mengaungkan kata “iustitia” apabila justice tidak tumbuh subur di dalam sanubarinya!
Daftar Referensi:
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik, cetakan keenam. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2017.
Riana, Friski. “Kisah Dosen UI Jadi Korban Pelecehan Seksual, Sulit Sembuhkan Trauma.” https://nasional.tempo.co/read/1530027/kisah-dosen-ui-jadi-korban-