Masyarakat Komunis: Antara Utopia dan Kepesimisan Manusia


Penulis: Baskara Adi, Ilmu Politik 2020

Sebelum mulai, saya ingin memberikan sebuah disclaimer, artikel ini merupakan pemikiran pribadi yang kemungkinan akan terdengar seperti khayalan. Saya juga ingin menegaskan bahwa artikel ini tidak memiliki tendensi untuk mengajak pembaca untuk memercayai segala hal yang dituliskan. Ok, let’s break it down.

Komunisme mungkin sudah tidak asing di telinga masyarakat Indonesia di masa kini. Komunisme merupakan hasil ekstraksi dari pemikiran Karl Marx yang di puncaknya mengidamkan lahirnya masyarakat komunis. Masyarakat komunis memiliki konsep yang berbeda dengan negara komunis yang merujuk kepada sebuah negara yang diperintah oleh sebuah partai yang berideologi komunisme. Sedangkan masyarakat komunis sendiri adalah sebuah tatanan masyarakat dimana manusia tidak lagi dipecah ke dalam hierarki-hierarki kelas, memiliki akses bebas terhadap barang jadi, dan tidak lagi bernegara, sehingga dengan beberapa hal, seorang individu di dalamnya akan berkedudukan setara antara satu dengan yang lainya, tidak ada kesenjangan sosial, dan eksploitasi buruh pun juga akan musnah (Steele, 1999, hlm. 66; O’Hara, 2003, hlm. 836). Masyarakat komunis juga memiliki prinsip “kerja semampumu, ambil sebanyak yang kamu butuhkan.” Oleh karena hal itu, orang-orang sering menganggap masyarakat komunis sebagai suatu utopia. Sebelum lebih jauh, mari kita bersama menyetujui makna dari kata “utopia” atau “utopis” itu sendiri untuk menyamakan persepsi sehingga pembahasan ini memiliki arah yang jelas. Meskipun bahasa bersifat manasuka, tapi kali ini saya akan menggunakan penjelasan dari KBBI yang mendeskripsikan utopia sebagai:

Sistem sosial politik yang sempurna yang hanya ada dalam bayangan (khayalan) dan sulit atau tidak mungkin diwujudkan dalam kenyataan.

Saya akan menggarisbawahi frasa “hanya ada dalam bayangan (khayalan) dan sulit atau tidak mungkin diwujudkan dalam kenyataan. Ya, masyarakat komunis seringkali dianggap hanya sebagai khayalan dan berada dalam ruang imajinasi yang tidak akan mungkin tercapai atau diwujudkan secara nyata. Hal ini tentu bukan tanpa alasan. Melihat adanya the nature of the habbit dari manusia yang tamak dan serakah seperti yang dipercayai oleh Thomas Hobbes dalam pemikiran state of nature-nya, tentu untuk mewujudkan “kerja semampumu, ambil sebanyak yang kamu butuhkan” tidak akan mungkin terjadi; sebab, manusia akan memiliki kecenderungan untuk menimbun dan mengambil lebih banyak daripada apa yang ia usahakan.

Dalam mengomentari anggapan bahwa masyarakat komunis adalah suatu utopia yang tidak mungkin diwujudkan, saya akan menggunakan teori disonansi kognitif. Dalam psikologi sosial, dikenal adanya teori disonansi kognitif yang membahas perasaan ketidaknyamanan seseorang akibat sikap, pemikiran, dan perilaku yang saling bertentangan; nantinya, ketidaknyamanan tersebut akan memotivasi seseorang untuk mengambil langkah demi mengurangi ketidaknyamanan tersebut (West dan Turner, 2008, hlm. 137). Teori ini menekankan bahwa seseorang akan merasakan ketidaknyamanan ketika dirinya berada dalam suatu disonansi, sehingga ia akan melakukan tindakan untuk keluar dari ketidaknyamanan tersebut. Salah satu tindakan yang bisa dilakukan adalah menghapus disonansi dengan cara mengubah persepsi (West dan Turner, 2008, hlm. 137).  Contoh dari kasus ini dapat ditemukan di dalam fabel dari Aesop yang berjudul “Serigala dan Anggur.” Fabel tersebut mengisahkan seekor serigala yang lapar dan tergiur akan sebuah anggur, tetapi dia tidak sanggup mengambilnya. Karena kecewa tidak bisa mendapatkan anggur tersebut, ia kemudian pergi dengan anggapan bahwa anggur tersebut pastilah masam.

Sebenarnya penyematan anggapan “utopis” terhadap beberapa hal banyak terjadi di masa lampau. Seperti misalnya, orang di masa lampau menganggap berkomunikasi jarak jauh secara real time merupakan sesuatu yang tidak mungkin terjadi atau utopis. Namun, hal tersebut diwujudkan oleh Alexander Graham Bell dengan penemuan alat teleponnya. Bahkan, sekarang kita bisa berkomunikasi dengan siapapun di belahan bumi manapun secara real time. Contoh lainya, manusia pada masa lampau menganggap bahwa penerbangan hanyalah khayalan saja. Namun, Wright bersaudara akhirnya mengubah khayalan tersebut menjadi kenyataan. Ada persamaan dari kedua peristiwa yang telah dipaparkan, yakni kemustahilan dan utopia berubah menjadi kenyataan. Kita bisa menghubungkan kedua hal ini dengan contoh dari teori disonansi kognitif di atas, yakni fabel berjudul “Serigala dan Anggur.” Terdapat persamaan antara manusia dengan serigala yang ada di dalam fabel itu. Keduanya cenderung mengubah anggapannya ketika berhadapan dengan suatu ketidakmampuan. Serigala yang ada di dalam fable Aesop menanamkan pemikiran bahwa anggur yang diinginkannya masam karena ketidakmampuannya untuk menggapai hal tersebut; sedangkan, manusia menganggap bahwa suatu keadaan adalah mustahil, tidak mungkin dicapai, dan utopis karena ketidakmampuannya untuk menggapainya saat itu. Di sini saya menyimpulkan bahwa ungkapan mustahil, tidak mungkin, dan utopis adalah sebatas perwujudan dari sifat pesimistik manusia saja karena ketidakmampuannya untuk menggapai suatu hal.

Mari kita kembali membahas masyarakat komunis. Setelah membahas mengenai fabel “Serigala dan Anggu” dan sifat pesimistik manusia, bagaimana dengan masyarakat komunis? Apakah masyarakat komunis tetap menjadi suati yang mustahil untuk digapai? Pertanyaan tersebut sebenarnya sulit untuk dijawab saat ini; karena, kita akan mengarah kepada suatu jawaban yang bersifat spekulatif tentang sesuatu yang mungkin baru akan terwujud di masa depan. Namun, secara sederhana, dengan cukup optimis, saya memberikan jawaban afirmatif terhadap kemungkinannya terwujud pada masa yang mendatang. Masyarakat komunis bisa saja terwujud di masa depan. Masyarakat tanpa kelas, kepemilikan kolektif, dan pelaksanaan prinsip sosial “kerja semampumu, ambil sebanyak yang kamu butuhkan” mungkin akan terwujud.”

Marx sendiri menganggap bahwa masyarakat komunis adalah puncak dari evolusi umat manusia  (Ramli, 2000, hlm. 134-135). Berbicara soal “tahap evolusi terakhir,” tentu saja kita tidak mungkin mengabaikan peran yang akan dimainkan oleh teknologi. Saat ini, kita tahu bahwa sistem Artificial Intelligence (AI) terus dikembangkan. AI merupakan sebuah teknologi yang memungkinkan sistem komputer, perangkat lunak, program dan robot untuk “berpikir” secara cerdas layaknya seorang manusia (Utami, 2021). Mungkin AI saat ini belum bisa berpikir kompleks dalam berbagai bidang layaknya seorang manusia. Namun, kemampuan AI tidak bisa kita anggap remeh. Garry Kasparov, seorang grandmaster catur yang tidak pernah kalah sebelumnya dikalahkan oleh komputer Deep Blue hanya dengan 19 gerakan. Pada tahun 2016, Lee Sedol, pemain Go (salah satu permainan boardgame) terbaik di dunia dikalahkan oleh AI bernama AlfaGo. Manusia memperoleh kemampuan-kemampuannya dengan belajar dari pengalaman. Dalam kasus ini, kemampuan seorang pemain catur akan meningkat seiring dengan jumlah permainannya. Cara belajar sebuah AI kurang lebih sama dengan manusia. AI akan mensimulasikan pertandingannya dengan berbagai kombinasi strategi. Ketika AI kalah dalam simulasinya, ia akan memperbaiki caranya bermain. Proses ini akan diulang jutaan kali. Perbedaan antara AI dengan manusia adalah, manusia hanya bisa bertanding sekali dalam satu rentang waktu, sedangkan AI dapat mensimulasikan jutaan permainan sekaligus dalam satu rentang waktu yang sama. Demikian, AlfaGo mampu mengalahkan pemain Go terbaik di dunia. Fakta unik lainya, AlphaGo Zero, dalam 3 hari “belajar” mampu mengalahkan AlfaGo yang telah mengalahkan Sedol. Fakta yang lebih gila, 3.000 tahun pengetahuan manusia tentang cara main Go ditemukan oleh AI hanya dalam waktu 40 hari. Bagaimana jika AI dengan kemampuan seperti ini terus berkembang?

Permainan Go ini bisa kita anggap seperti permainan politik, karena satu langkah akan menimbulkan banyak efek. Kita bisa melihat contoh AI yang sangat maju seperti J.A.R.V.I.S atau Ultron dalam film-film Marvel Cinematic Universe atau MCU. Kedua AI ini adalah AI yang luar biasa cerdas sehingga mampu mengambil tindakan yang tepat hanya dalam rentang waktu yang sangat pendek. Jika sistem AI terus dikembangkan, bukan tidak mungkin pemerintahan bisa digantikan dengan sistem AI; sebab, AI memiliki kelebihan berupa sikap tidak pandang bulu, adil, akurat, dan lebih objektif, yang mana dalam berjalannya AI dapat diatur dengan program humanis yang berfungsi untuk melayani manusia. Yang perlu digarisbawahi di sini adalah “melayani manusia,” bukan pribadi tertentu. Manusia seringkali memiliki kehendak yang disertai dengan ego sehingga berujung kepada egoisme, otoritarianisme, supremasi kekuasaan, hingga dinasti politik, sehingga mewujudkan masyarakat yang setara akan sulit dicapai jika manusia memegang kuasa pemerintahan. Melihat hal ini, pemerintahan yang dijalankan oleh AI merupakan salah satu pilihan terbaik karena AI tidak memiliki kepentingan, motivasi, dan keberpihakan. Lebih penting lagi, AI bisa lebih adil daripada manusia yang seringkali bersikap subjektif. Dengan kemampuan AI yang dapat mensimulasikan ribuan bahkan jutaan keadaan dalam satu rentang waktu yang sama seperti pada kasus AlfaGo, AI akan mampu mengambil strategi dan langkah yang jauh lebih tepat dalam merumuskan kebijakan yang bisa mensejahterakan manusia

Seiring dengan perkembangan teknologinya, AI semakin tidak perlu lagi dikendalikan oleh manusia. AI pada masa yang mendatang dapat melakukan pekerjaannya sesuai dengan pengaturan yang dimasukan ke dalam programnya. Jika hal ini dikombinasikan dengan bioteknologi yang semakin maju, kita bisa saja mengantisipasi gagal panen. Pengenalan AI ke dalam sistem blockchain juga akan semakin membuka jasa pelayanan publik kepada masyarakat sehingga mengurangi potensi terjadinya korupsi dan membuat distribusi data masyarakat berjalan secara optimal. Demikian, manusia akan memiliki persediaan makanan tak terbatas, sumber energi tak terbatas, dan sistem pemerintahan yang nyaris sempurna karena sangat objektif dan adil tanpa dipengaruhi kepentingan serta dilengkapi dengan kemampuan mengambil strategi yang tepat berkat kemampuan simulasinya. Dalam kasus ini, manusia juga tidak perlu bekerja karena telah ada AI yang bekerja untuk manusia. Pada era ini, dengan adanya persedia makanan dan energi yang tak terbatas tentu juga akan berdampak kepada penggratisan berbagai komoditas yang ada di dunia. Sistem AI yang diprogram secara otomatis akan terus memproduksi apa yang dibutuhkan oleh umat manusia. Di tahap ini pula, karena semua hal mudah didapatkan, manusia tidak akan memiliki pikiran untuk berbuat jahat lagi. Pemikiran Hobbes mengenai sifat alamiah manusia tidak akan berlaku lagi karena sumber daya yang ada menjadi tidak terbatas. Untuk apa memperebutkan hal yang gratis dan tak terbatas? Dengan demikian, kesetaraan dan menghilangnya sistem kelas juga telah menjadi sesuatu yang pasti karena ekonomi menjadi sesuatu yang tak diperhitungkan lagi. Semua telah tersedia dengan sangat mudah dengan bantuan teknologi. Pada akhirnya, manusia hanya perlu menjalani hidupnya tanpa terbelenggu keterbatasan ekonomi dan sekat sekat yang ada. Dengan kata lain, di era ini, masyarakat di mana manusia tidak memiliki hierarki kelas, memiliki akses bebas terhadap barang jadi dan sumber daya, dan tidak bernegara, masyarakat komunis telah terwujud. Singkatnya, Masyarakat komunis terwujud dengan bantuan teknologi.

Membaca hal di atas, terutama mengenai AI yang menjalankan pemerintahan dan AI yang menyediakan keperluan manusia terdengar seperti sebuah khayalan dan imajinasi dalam film-film. Namun, tunggu! Tahukah kamu? Lagu berjudul “Daddy’s Car” adalah lagu yang diciptakan oleh AI. Lukisan dengan judul “Portrait of Edmond Belamy” yang terjual seharga Rp6,5 Miliar juga merupakan ciptaan AI. Hal yang dulu kita pikir tidak bisa AI lakukan, sekarang AI melakukannya. Perkembangan teknologi sering mengubah pemikiran kita tentang sejauh mana suatu hal dianggap sebatas “hayalan”. Memang, upaya mewujudkan suatu masyarakat komunis tidaklah mudah jika melihat uraian di atas. Perlu proses yang sangat amat panjang untuk mewujudkannya. Marx sendiri menganggap bahwa masyarakat komunis sebagai tahap evolusi yang terakhir dari umat manusia. Untuk mencapai “tahap terakhir” tentu tidaklah mudah. Untuk mencapai masyarakat komunis, dibutuhkan kesadaran tinggi dari umat manusia untuk menerapkan prinsip “kerja semampumu, ambil sebanyak yang kamu butuhkan.” Namun, bagaimana kalau prinsip “kerja semampumu, ambil sebanyak yang kamu butuhkan” kita ubah menjadi “ambil sebanyak yang kamu butuhkan” saja karena teknologi sudah bekerja untuk kita pada masa yang mendatang? Saya suka dengan perkataan R. Ardrey yang berbunyi:

Sementara kita mengejar hal yang tidak dapat dicapai, kita membuat hal yang mustahil menjadi kenyataan.”

-R. Ardrey-

Sebenarnya, kita tidak perlu berkhayal terlalu jauh ke masa depan untuk membayangkan masyarakat komunis. Terdapat komunitas Kibbutz di Israel yang telah dan masih berupaya mempertahankan kehidupan komunalnya. Meskipun Kibbutz belum 100% sesuai dengan masyarakat komunis ala Marx, tetapi Kibbutz bisa menjadi bukti bahwa masyarakat komunis bisa diwujudkan dan bukan sekedar utopia belaka. Dalam tulisan ini, saya tidak mencoba mengajak anda untuk menganut komunisme, jadi, mohon jangan anggap saya mempromosikan komunisme. Dalam tulisan ini, saya hanya memberikan pandangan terhadap prospek terwujudnya suatu masyarakat komunis. Apakah hanya sebatas utopia atau bisa diwujudkan pada masa yang akan mendatang?

Daftar Pustaka

Kambali, Muhammad. (2 Juli 2020). Pemikiran Karl Marx Tentang Struktur Masyarakat (Dialektika Infrastruktur Dan Suprastruktur). Jurnal Pemikiran dan Penelitian Ekonomi Islam. Volume 8 Issue 2 Juli 2020. E-ISSN: 2745-8512 P-ISSN: 2407-6600.

Flash, Vian. (22 September 2021). Manusia Menjadi Tuhan, Gara Gara Teknologi Part.2. [Video]. diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=ohGfR7F2-No&t=1703s pada 5 November 2021 pukul 21.23 WIB

Hapsah, Agung. (6 Februari 2019). Robot Lebih Pintar Daripada Manusia. [Video]. diakses dari https://www.youtube.com/watch?v=TXis8n9UXLk&t=84s pada 7 November 2021 pukul 13.05 WIB.

O’Hara Phillip. (2003) Encyclopedia of Political Economy. Volume 2. Routledge, ISBN 0-415-24187-1,

Ramli, Muawiyah. (2000). Peta Pemikiran Karl Marx :Materialisme Dialektis dan Materialisme Historis. Yogyakarta: Lkis

Steele, David Ramsay. (1999). From Marx to Mises: Post Capitalist Society and the Challenge of Economic Calculation. Open Court. ISBN 978-0875484495

West, Richard & Turner, Lynn H. (2008). Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Jakarta: PT. Salemba Humanika.