Mengenal Politik Identitas: Mulai dari Persoalan Identitas hingga Pergerakan Politik


Penulis: Yonathan Anugrah El Pohan, Ilmu Politik 2019

Isu seputar identitas telah menjadi objek pembahasan di tengah konteks bermasyarakat. Hal tersebut dikarenakan identitas sendiri tidak dapat dilepaskan dari aspek kehidupan manusia. Tidak ada manusia di muka bumi ini yang tidak memiliki identitas yang melekat di dirinya. Identitas pada diri seorang individu dapat beragam wujudnya, mulai dari etnis, suku, agama, ras, gender, status sosial, warna kulit, preferensi hobi, dan lain sebagainya. Bahkan, dalam Brubaker & Cooper (2000), kelas sosial sendiri dapat dipahami sebagai suatu identitas. Hal tersebut pada gilirannya membawa kita pada konteks politik identitas. Politik identitas telah menjadi diskursus dalam dunia politik, karena politik identitas berbicara mengenai perjuangan suatu kelompok komunal dalam memperjuangkan atau menonjolkan identitas mereka dalam ranah publik atau bahkan elektoral sekalipun. Selanjutnya, politik identitas bagaikan pedang bermata dua, yang berarti bahwa dalam pelaksanaannya, politik identitas dapat menghasilkan iklim politik yang konstruktif di satu sisi, dan destruktif pada sisi lainnya. Tulisan ini bertujuan untuk meninjau ulang pemahaman kita terhadap aspek fundamental dari politik identitas dan sisi positifnya.

Untuk memulainya, kita dapat merefleksikan identitas itu sendiri yang nantinya akan masuk ke dalam ranah politik. Identitas dapat dilihat pada kategori praktis dan juga analisis. Untuk identitas sebagai wujud “praktis,” ia disandarkan kepada aktor-aktor individu pada kehidupan sehari-hari dalam konstruksi atas identifikasi diri, aktivitas, interaksi dengan orang lain, dan juga bagaimana mereka dapat berbeda dari yang lainnya (Brubaker & Cooper, 2000: 4). Bahkan, hal tersebut dapat digunakan oleh para aktor politik untuk mengajak orang-orang agar lebih memahami rasa keidentitasan, kepentingan, dan pergumulan mereka, dalam wujud kolektivitas atas rasa kesamaan identitas. Identifikasi atas identitas itu sendiri dapat dibagi menjadi dua, yakni antara relational dan juga categorical. Identifikasi dalam aspek relational dapat berupa kekerabatan, sedangkan categorical di mana seseorang mengidentifikasi diri dengan keanggotaan dalam kelas di mana orang tersebut berbagi serta bertukar pikiran kategoris didalamnya, seperti ras, etnis, bahasa, gender, orientasi seksual, dan lain-lain (Brubaker & Cooper, 2000: 14-15).

Mengkonstruksikan identitas merupakan komponen penting dari proses di mana individu memberi makna pada pengalaman mereka sendiri dan transformasi mereka dari waktu ke waktu (Porta & Diani, 2006: 92). Dapat dikatakan bahwa konstruksi identitas tersebut terbentuk atas konteks proses sosial. Oleh karenanya, identitas dapat dan tidak jarang dijadikan sebagai proyek atas kepentingan individu dan juga politik. Pada umumnya, identitas dalam ranah politik dipahami sebagai label kolektif dari sekumpulan karakteristik dimana seseorang diakui oleh aktor-aktor politik sebagai anggota dari sebuah kelompok politik (Smith, 2004: 302). Hal tersebut dikarenakan sifat identitas yang membentuk suatu ikatan kolektif memberikannya kesan eksklusivitas. Eksklusivitas tersebut yang membuat identitas diyakini dapat lebih mudah dan efektif dalam membangkitkan partisipasi nyata di antara anggotanya (Porta & Diani, 2006: 103). Dengan penjelasan seputar identitas dan karakteristiknya, lantas muncul pertanyaan mengenai bagaimana identitas tersebut pada akhirnya dapat menjadi suatu gerakan politik yang kita kenal sebagai politik identitas?

Bernstein dalam tulisannya menjelaskan mengenai politik identitas dalam konstruksi sosial-bermasyarakat. Kauffman (1990: 67) dalam Bernstein (2005: 49-50) melihat bahwa identitas dengan sendirinya harus menjadi pusat perhatian kegiatan politik; hal-hal yang termasuk di dalamnya adalah penjabaran, pengungkapan, dan afirmasi seseorang terhadap identitasnya. Bahwa politik identitas sendiri pada perkembangannya telah mempolitisasi bagian-bagian kehidupan yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Politik identitas mempolitisasi area yang pada awalnya kita tidak memaknainya sebagai cakupan politik, seperti seksualitas, hal-hal interpersonal, relasi antar individu, gaya hidup, dan budaya sekalipun. Kelompok-kelompok yang didasari atas identitas ini dalam aspek fundamental berupaya mengadvokasikan pengakuan dan juga rasa hormat terhadap perbedaan kultural mereka, yang mana hal tersebut dapat berbeda antara kelompok identitas kultural satu dengan yang lainnya. Wujud keanggotaan seseorang dapat merefleksikan dan membantunya dalam memahami kepentingan dalam ranah personal dan juga kekuasaan politik (Smith, 2004, 304).

Brown (1995) berpendapat bahwa bentuk marjinalisasi merupakan basis untuk kultur dari grup-grup identitas yang ada (Bernstein, 2005: 50). Menurut Brown, pengadvokasian atas hak-hak yang didasari atas identitas budaya yang termajinalkan, dapat meningkatkan kesadaran sosial dari kelompok marjinal oleh kelompok dominan yang menguasai seluruh sumber-sumber daya yang ada. Dari perbedaan kultural ini yang melahirkan pembeda antar kelompok sosial, dan hal tersebut dapat didayagunakan sebagai langkah untuk memperjuangkan hak-hak serta pengakuan terhadap mereka, yang biasanya cenderung diopresi oleh kelompok mayoritas yang dominan. Britt & Heise (2000) mengartikan politik identitas sebagai bentuk dari proses emosional yang dibutuhkan untuk menerjemahkan perasaan terisolir, ketakutan, dan rasa malu menjadi wujud keberanian, solidaritas, kebanggaan, dan aksi, dalam rangka untuk memobilisasi kelompok-kelompok yang terstigmatisasi (Bernstein, 2005: 61). Identitas pada selanjutnya dikerahkan secara strategis sebagai bentuk atas aksi kolektif untuk mengubah suatu tatanan/institusi; sebagai strategi politik, ia dikerahkan untuk mengekspresikan identitas, yang mana membuat identitas tersebut dapat menjadi suatu pertimbangan yang memerlukan suatu diskursus tertentu dalam pengaplikasiannya. Politik identitas membuat identitas kolektif semakin menonjol, berkontribusi dalam hal politisasi dan radikalisasi, dan memantik apa yang disebut sebagai political protest. Identitas kolektif ini secara politik menjadi relevan ketika seseorang yang berbagi identitas spesifiknya berperan dalam langkah-langkah politik atas nama rasa kolektivitas tersebut (Klandermans, 2014, 2).

Setelah memahami diskursus seputar politik identitas, nampaknya semakin memperjelas bahwa pada hakikatnya politik identitas berguna sebagai upaya resistensi kelompok minoritas dalam memperjuangkan hak-hak mereka. Namun, seiring perubahan zaman, pemaknaan atas identitas bertransformasi menjadi lebih destruktif dan juga berkonotasi negatif. Politik identitas dalam aras ini melahirkan suatu populisme dan juga politik partisan, yang mana suatu kelompok mayoritas memaksakan kepentingannya dengan menggerus kepentingan minoritas. Iklim politik arus utama kini telah menaikkan popularitas atas praktik populisme sayap kanan (konservatif) dan juga militansi dari para pendukung-pendukungnya dalam wujud politik partisan. Banyak contoh atas kondisi iklim politik arus utama pada era kini yang memiliki kecenderungan kepada tumbuhnya populisme, antara lain mulai dari kemenangan Jair Bolsonaro di Brazil, Donald Trump di Amerika Serikat, keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa (Brexit), populisme Viktor Orban di Hungaria, dan lain sebagainya. Untuk kasus Indonesia sendiri yakni dapat dirujuk pada momentum Aksi 212 dalam menuntut diadilinya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) atas dugaan penistaan terhadap agama Islam. Bahkan, buntut dari aksi tersebut yakni masih eksisnya praktik yang mempolitisasikan agama ataupun kelompok etnis mayoritas guna mendulang suara menjelang pemilihan umum. Pasca kasus pengadilan dan pemenjaraan Ahok, tagline 212 tetap terpelihara dan hadir dalam wujud berlangsungnya Reuni 212 secara rutin dalam rangka memperingati momentum kemenangan umat Islam dalam melawan “kemungkaran” di DKI Jakarta (Kompas, 2020).

Penulis mengklaim bahwa dengan dipaparkannya beberapa peristiwa mengenai isu identitas semakin memperjelas bahwa pemaknaan terhadap politik identitas telah berubah ke arah negatif. Politik identitas yang umumnya dilekatkan pada kelompok minoritas sekarang justru berubah kepada anggota mayoritas kelompok yang menindas kelompok minoritas yang termajinalkan. Namun, bukan berarti penulis melihat bahwa pemaknaan kini atas politik identitas dapat dibenarkan. Penulis melihat bahwa politik identitas sejatinya sangat lumrah dalam konteks praktis. Hal tersebut disandarkan kepada realita bahwa manusia itu tidak akan lepas dari aspek konstruksi sosial, emosional, serta politik. Manusia selalu lekat akan identitas, baik itu tunggal dan juga ganda. Pada awalnya, konstruksi sosial-lah yang menjadikan politik identitas lahir sebagai cara dan juga wadah aspirasi perjuangan kelompok minoritas yang termajinalkan.

Tidak sedikit pula wujud politik identitas berperan penting dalam perjuangan suatu kelompok minoritas membela hak-hak mereka. Contoh tersebut dapat kita lihat pada gerakan Black Lives Matter (BLM) sebagai tren pergerakan global dan juga perjuangan kelompok feminisme di Indonesia. Untuk kasus pertama, pergerakan BLM di Amerika Serikat telah mempengaruhi serta meningkatkan awareness terhadap keadilan dan kesetaraan antar lintas ras, khususnya terhadap orang-orang yang kulit berwarna. Kingkade mengangkat kisah seputar aktivis BLM, Indira Sheumaker, yang memenangkan kursi di Dewan Kota Des Moines di wilayah Iowa (NBC News, 2021). Sheumaker menilai bahwa kemenangannya dalam perebutan kursi pemerintahan distrik tersebut didasari atas animo orang-orang yang mulai terinspirasi dengan pesan-pesan kampanyenya. Dari hal ini kita dapat melihat bahwa politik identitas dapat digunakan dalam konteks elektoral untuk memperjuangkan kepentingan kaum termajinalkan. Hal tersebut yang membuat perubahan secara bertahap pandangan orang-orang pada umumnya terhadap stigma negatif yang melekat pada suatu kelompok minoritas/marjinal.

Pada kasus lainnya, Arivia & Subono (2017) mengangkat diskursus seputar feminisme di Indonesia pada literatur mereka. Mereka tentu melihat bahwa isu feminisme telah mulai ada di Indonesia terhitung semenjak R. A. Kartini memperjuangkan emansipasi perempuan dan kesetaraan gender. Perempuan di Indonesia menghadapi permasalahan di mana gagasan feminisme di tengah perempuan masih kurang tersalurkan dikarenakan tidak memiliki dasar yang kuat dalam pengimplementasiannya. Politik identitas kaum perempuan ini akhirnya menemui pergumulan tersendiri ketika mereka harus berhadapan dengan konstruksi dan budaya masyarakat Indonesia yang konservatif. Tentu dalam hal ini, rasa identitas keperempuanan mereka merupakan ujung tombak dalam perjuangan melawan konstruksi yang popular di tengah masyarakat, sehingga cita-cita kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki kelak tercapai.

Untuk menutup tulisan kali ini, penulis akan mencoba mengingatkan kembali mengenai isu seputar politik identitas. Politik identitas berangkat dari identitas yang selalu melekat pada diri setiap manusia. Wujud emosional yang ada pada jati diri identitas manusia ini yang membuat rasa solidaritas antar individu—yang saling bertukar kesamaan identitas dan juga karakteristik—semakin menguat. Dari fenomena tersebut lahirlah suatu kolektivitas atas dasar kesamaan identitas. Kaitannya antara identitas dengan politik yakni ketika identitas tersebut dipergunakan untuk meraih cita-cita politis. Cita-cita politis tersebut dapat tertuang dalam perjuangan atas hak serta perlakuan yang sama antar kelompok, pengakuan atas identitas yang ditonjolkan, serta regulasi dalam mengatur eksistensi kelompok-kelompok sosial yang ada. Yang perlu menjadi catatan penting bahwa politik identitas sejatinya merupakan gerakan akar rumput yang ditujukan untuk melawan ketidakadilan yang seringkali didapatkan serta dialamatkan oleh kelompok minoritas dan terpinggirkan. Namun, kita juga tidak dapat memungkiri fakta sosial lainnya terkait sejauh mana identitas dalam politik tersebut dipolitisasi demi kepentingan pragmatis dalam konteks mendulang suara pada kontestasi elektoral. Akhir kata, antara manusia, identitas, dan politik, keseluruhan hal tersebut saling berhubungan satu sama lain dan tidak dapat direduksi keberadaannya.

Referensi

Arbi, I. A. “Mengenal Reuni 212, dari Aksi Melawan Ahok hingga Kriitik Pemerintah” https://megapolitan.kompas.com/read/2020/12/02/17531761/mengenal-reuni-212-dari-aksi-melawan-ahok-hingga-kriitik-pemerintah?page=all (Diakses pada 5 November 2021).

Arivia, G., & Nur Iman Subono. (2017). A Hundred Years of Feminism in Indonesia: An Analysis of Actors, Debates and Strategies. Jakarta: Friedrich-Ebert-Stiftung.

Bernstein, M. (2005). “Identity Politics.” Annual Review of Sociology, 31, 47–74. http://www.jstor.org/stable/29737711

Brubaker, R., & Frederick Cooper. (2000). Beyond “Identity.” Theory and Society, 29(1), 1–47. http://www.jstor.org/stable/31084784

Kingkade, T. “Black Lives Matter Activist Wins in Iowa on A ‘Defund the Police’ Platform” https://www.nbcnews.com/news/us-news/black-lives-matter-activist-wins-iowa-defund-police-platform-rcna4460 (Diakses pada 5 November 2021).

Klandermans, P. G. (2014). Identity Politics and Politicized Identities: Identity Processes and the Dynamics of Protest. Political Psychology, 35(1), 1–22. http://www.jstor.org/stable/43785856

Porta, D. P., & Mario Diani. (2006). Social Movement: An Introduction. 2nd ed. Blackwell Publishing: Malden, Oxford, & Victoria.

Smith, R. M. (2004). “Identities, Interests, and the Future of Political Science.” Perspectives on Politics, 2(2), 301–312. http://www.jstor.org/stable/3688442