Penulis: Kenzie Ryvantya, Ilmu Politik UI 2020
Latar Belakang
Akhir-akhir ini, pemerintahan junta militer yang berkuasa di Myanmar menghadapi penentangan kuat dari masyarakat sipil. Semenjak Tatmadaw (nama resmi militer Myanmar) melaksanakan kudeta pada awal 2021, ribuan warga telah memutuskan untuk bergabung dengan kelompok-kelompok sipil bersenjata dalam rangka melawan kekuatan junta militer dan mengembalikan demokrasi yang telah direnggut dari genggaman mereka. Media massa mancanegara maupun Indonesia bahkan seringkali memberitakan brutalitas rezim militer Myanmar terhadap warganya sendiri, mulai dari pemblokiran akses suplai makanan dan bantuan kemanusiaan, sampai eksekusi mati para aktivis prodemokrasi yang tentunya merupakan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia.
Secara historis, Tatmadaw sudah mendominasi lanskap politik nasional di Myanmar sejak negara tersebut meraih kemerdekaannya dari Britania Raya pada 1948. Hal yang serupa sebenarnya bisa kita temukan di Indonesia, di mana Tentara Nasional Indonesia (TNI) pernah memainkan peran sebagai kekuatan sosial-politik di bawah doktrin ‘Dwifungsi’. Akan tetapi, di saat Indonesia (relatif) berhasil membangun dan mempertahankan demokrasinya dari Reformasi 1998 sampai saat ini, demokratisasi di Myanmar ternyata malah menghadapi kegagalan yang berujung pada kudeta militer. Mengapa demikian?
Dalam analisis perbandingan kali ini, sebagai peminat kajian sektor pertahanan-keamanan, saya berargumen bahwa keberhasilan suatu negara mewujudkan konsolidasi demokrasi tidak lepas dari upaya pihak sipil untuk menegakkan kontrol yang efektif terhadap militer. Ketika kontrol sipil terhadap militer berhasil, maka berhasil pula konsolidasi demokrasi, seperti yang dapat kita lihat di Indonesia. Begitu pun sebaliknya, ketika kontrol sipil gagal, demokrasi juga gagal terkonsolidasi, seperti di Myanmar saat ini. Let’s dive into it.
Konsolidasi Demokrasi dan Kontrol Sipil terhadap Militer
Sebelum kita telaah lebih jauh, apa yang dimaksud dengan konsolidasi demokrasi? Schedler (1997) mendefinisikan democratic consolidation sebagai expected regime stability, yaitu ekspektasi mengenai stabilitas rezim demokratis. Stabilitas ini ditandai dengan rendahnya kemungkinan rezim tersebut mengalami breakdown dan tingginya kemungkinan survival. Dengan kata lain, konsolidasi demokrasi dapat dianggap selesai ketika semua pemangku kepentingan, meyakini bahwa rezim demokratik dapat terus bertahan tanpa adanya ancaman serius di masa yang akan datang, termasuk ancaman kudeta dari militer.
Secara alamiah, keberadaan dari militer itu sendiri merupakan ancaman potensial terhadap demokrasi (Sundhaussen, 1998). Karakteristik militer sebagai kelompok satu-satunya di sebuah negara yang berhak memonopoli kekuatan bersenjata dan berstruktur hierarkis sangat bertentangan dengan sistem demokrasi yang cenderung terbuka dan egaliter. Namun, di dalam negara-negara demokratis yang kokoh, ancaman ini dapat diminimalisasi dengan civilian control of the military, atau penegakan kontrol sipil terhadap militer.
Menurut Samuel P. Huntington dalam karyanya The Soldier and the State (1957), kontrol sipil terhadap militer merupakan antitesis dari partisipasi militer dalam politik. Keberhasilan perwujudan civilian control secara objektif dapat dilihat dari terpenuhinya tiga kriteria: pertama, terdapat pemisahan yang jelas antara sipil dan militer secara institusional. Kedua, terjaminnya ketidakterlibatan militer dalam politik domestik. Ketiga, terlaksananya subordinasi militer oleh otoritas sipil. Ketika kontrol sipil diimplementasikan dengan optimal, otoritas sipil tidak akan mengintervensi ranah militer secara berlebihan dan militer pun juga akan menjaga profesionalismenya dengan tidak melibatkan diri dalam politik.
Mengapa Myanmar Gagal?
Kembali ke kasus Myanmar, kontrol sipil gagal terwujud di sana karena tiga alasan mendasar: 1) keengganan internal militer untuk mengakomodasi gerakan prodemokrasi, 2) pemberlakuan konstitusi yang memberikan ruang bagi dominasi militer dalam politik, dan 3) penanaman pengaruh militer secara tidak langsung dalam pemerintahan sehingga dapat menggagalkan upaya legislasi oleh otoritas sipil.
Kudeta Februari 2021 bukanlah pertama kali Tatmadaw menggulingkan pemerintahan sipil dalam sejarah. Pada 1988, rakyat Myanmar turun ke jalan dan berdemonstrasi untuk menuntut turunnya rezim sosialis Jenderal Ne Win. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Tatmadaw untuk menyingkirkan Ne Win, mengambil alih kekuasaan pemerintahan, dan mendirikan junta militer bernama State Law and Order Restoration Council (SLORC). Sesuai dengan tuntutan demonstrasi rakyat, rezim SLORC membuka ruang bagi masyarakat untuk membentuk partai politik dalam rangka pemilihan umum yang direncanakan pada 1990. Salah satu partai yang terbentuk adalah National League for Democracy (NLD) dengan Aung San Suu Kyi sebagai figur sentralnya, yang nantinya berhasil membawa NLD menuju kemenangan telak dalam Pemilu 1990. Akan tetapi, rezim SLORC menolak hasil pemilu dan terus memegang dominasi penuh atas jalannya pemerintahan selama tiga dekade mendatang.
Pada 2008, Tatmadaw meresmikan konstitusi baru yang makin memperkuat dominasi militer dalam politik, dengan cara mengalokasikan 25% kursi di parlemen bagi anggota militer (mirip seperti implementasi ‘Fraksi ABRI’ pada masa Orde Baru di Indonesia) dan tidak adanya ketentuan mengenai mekanisme pengawasan sipil terhadap alokasi anggaran dan operasional militer. Di bawah konstitusi ini, Tatmadaw berhak menentukan kebijakan keamanan nasional dan berhak mengambil alih kekuasaan pemerintahan jika dianggap terdapat “keadaan bahaya yang mengancam kesatuan negara”, termasuk permasalahan keamanan domestik (Myoe, 2017). Kemudian pada 2010, para perwira Tatmadaw membentuk Union Solidarity and Development Party (USDP) sebagai kendaraan politik mereka untuk berpartisipasi dalam pemilu 2010 (Kipgen, 2021). USDP pun berhasil memenangkan suara terbanyak setelah NLD memboikot pemilu tersebut, dan Tatmadaw bersedia menyerahkan kekuasaan kepada USDP pada 2011. Meskipun kini tidak mengontrol secara langsung, Tatmadaw masih memiliki pengaruh kuat melalui USDP.
Secercah harapan mulai muncul ketika NLD berhasil memenangkan Pemilu 2015 dengan meraih 86% suara dan berhak untuk mengambil alih pemerintahan. Diadakanlah semacam kesepakatan power-sharing antara otoritas sipil di bawah NLD dengan Tatmadaw (Myoe, 2017), dan Aung San Suu Kyi naik ke posisi State Counsellor (setara Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan). Dengan bermodalkan posisi politik yang lebih kuat, pihak sipil berusaha merestrukturisasi relasi sipil–militer di Myanmar dalam rangka membatasi pengaruh militer dalam pemerintahan, seperti mengajukan rancangan undang-undang dan amendemen konstitusi. Namun sayangnya, upaya ini digagalkan oleh Tatmadaw berkat penguasaannya terhadap 25% kursi di parlemen.
Lima tahun berselang, Myanmar kembali mengadakan pemilu pada 2020 dan kita semua mengetahui apa yang terjadi setelah itu: NLD menang (lagi) dan Tatmadaw menolak hasilnya (lagi). Kali ini, Tatmadaw tidak segan-segan mengerahkan kekuatan mereka untuk menggulingkan pemerintahan sipil dan mengembalikan posisi mereka di puncak kekuasaan. Dengan bangkit kembalinya junta militer, pupuslah impian demokratisasi di Myanmar.
Bagaimana Indonesia Berhasil?
Bagaimana dengan Indonesia? Lain halnya dengan Myanmar, kontrol sipil relatif berhasil ditegakkan di Indonesia berkat beberapa faktor utama, antara lain antara lain 1) adanya respons positif dari internal TNI terhadap tuntutan Reformasi, 2) terlaksananya pemisahan fungsi pertahanan-keamanan dan penguatan peran sipil terhadap urusan pertahanan, serta 3) penghapusan doktrin Dwifungsi secara sistematis.
Gerakan Reformasi 1998 menggulingkan Presiden Soeharto dan pemerintahan Orde Baru. Salah satu tuntutan yang disampaikan oleh masyarakat sipil pada waktu itu ialah agar tentara “kembali ke barak” melalui pencabutan doktrin Dwifungsi. Hal ini ditujukan agar militer dapat berfokus ke tugas pokoknya, yaitu mengurus pertahanan negara. Tuntutan ini ternyata mendapatkan respons yang cenderung akomodatif dari beberapa perwira tinggi senior di dalam TNI sendiri, yang kemudian menyelenggarakan diskusi internal mengenai “redefinisi, reposisi, dan reaktualisasi” peran TNI di era pasca-Orde Baru (Marijan, 2016: 251). Langkah ini merupakan titik awal upaya perbaikan di dalam tubuh TNI yang kemudian menghasilkan sebuah ‘paradigma baru” dengan pengalihan fokus militer dari keamanan internal menjadi pertahanan eksternal (Rabasa dan Haseman, 2002). Menurut pernyataan resmi dari Mabes TNI pada 2001, keputusan ini merupakan “bentuk komitmen dan kesadaran TNI sendiri” untuk menjawab tantangan masa depan bangsa.
Dalam struktur pra-Reformasi, angkatan bersenjata terdiri dari angkatan darat, laut, udara, serta kepolisian. Oleh karena itu, angkatan bersenjata secara keseluruhan seringkali terlibat terlalu jauh dalam masalah keamanan dalam negeri, yang seharusnya hanya menjadi tanggung jawab kepolisian (Marijan, 2016: 252). Barulah pada di bawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie dan dengan dukungan publik, kepolisian resmi dilepaskan dari angkatan bersenjata pada 1 April 1999 dan tidak lagi ditempatkan di bawah Departemen Pertahanan dan Keamanan, melainkan bertanggung jawab kepada seorang pejabat sipil, yaitu Presiden RI langsung (Muradi, 2009). Kemudian, pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, pengangkatan Juwono Sudarsono sebagai Menteri Pertahanan pertama dari kalangan sipil sejak tumbangnya Orde Baru menandai menguatnya peran pemerintah sipil yang dipilih secara demokratis dalam menangani urusan pertahanan.
Kemudian pada April 2000, Panglima TNI Widodo Adisubroto mengumumkan penghapusan peran sosial-politik yang sudah lama dipegang oleh militer (Marijan, 2016: 252). Bentuk nyata dari keputusan ini adalah dihilangkannya ‘Fraksi TNI-Polri’ dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), sehingga penempatan tentara aktif sebagai anggota legislatif tidak lagi diperbolehkan. Para perwira angkatan bersenjata yang sudah terlebih dahulu menempati posisi di lembaga-lembaga sipil diberikan pilihan untuk mundur dari jabatannya atau pensiun dari dinas. Dengan demikian, lembaga legislatif yang memiliki kewenangan untuk mengawasi penyelenggaraan pertahanan negara kini sepenuhnya dikuasai oleh pihak sipil tanpa campur tangan langsung dari militer. Lebih lanjut, hak bagi militer untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum pun juga dihapuskan sejak Pemilu 2004.
Apa dampak keberhasilan kontrol sipil di Indonesia? Mindset TNI menjadi difokuskan untuk membenahi diri menjadi angkatan perang yang profesional. Meskipun terkadang masih terdapat pengaruh TNI dalam penentuan kebijakan, hingga kini sama sekali tidak ada upaya dari TNI untuk menggulingkan pemerintahan sebagaimana yang dilakukan oleh Tatmadaw di Myanmar. Dengan meminimalisasi ancaman dari militer, demokrasi pasca-1998 di Indonesia bisa lebih terkonsolidasi.
Kesimpulan
Dari kasus perbandingan Myanmar dan Indonesia, dapat disimpulkan bahwa kontrol sipil terhadap militer merupakan langkah penting dalam mengonsolidasi demokrasi. Setelah ditumbangkannya suatu pemerintahan otoriter (seperti Ne Win di Myanmar dan Soeharto di Indonesia), terdapat kemungkinan militer berusaha menggulingkan pemerintahan sipil. Kemungkinan inilah yang semestinya diredam dengan menegakkan kontrol sipil yang objektif terhadap militer. Ketika militer masih memiliki ruang gerak dalam politik, tidak sulit bagi mereka untuk mengambil alih kekuasaan dari otoritas sipil, seperti yang dilakukan oleh Tatmadaw di Myanmar. Sebaliknya, jika ruang gerak militer dipersempit, mereka akan cenderung bertransformasi menjadi kekuatan yang profesional dan tidak mencampuri urusan politik, seperti yang diterapkan pada TNI di Indonesia.
Referensi
Fishbein, E., Vahpual, & Lusan, N. N. (2021, Juli 1). ‘Our only option’: Myanmar civilians take up arms for democracy. Al Jazeera. Diakses pada 9 Juni 2022, dari https://www.aljazeera.com/news/2021/6/15/our-only-option-myanmar-civilians-take-up-arms-for-democracy
Huntington, S. P. (1957). The Soldier and the State: The Theory and Politics of Civil–Military Relations (Revised ed.). Belknap Press.
Kipgen, N. (2021). The 2020 Myanmar Election and the 2021 Coup: Deepening Democracy or Widening Division? Asian Affairs, 52(1), 1–17. https://doi.org/10.1080/03068374.2021.1886429
Marijan, K. (2016). Sistem Politik Indonesia: Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru (5th ed.). Kencana.
Myoe, M. A. (2017). Emerging Pattern of Civil–Military Relations in Myanmar. Southeast Asian Affairs, 259–276. https://doi.org/10.1355/aa17-1o
Rabasa, A., & Haseman, J. (2002). Doctrinal Change: From ‘Total People’s Defense and Security’ to the ‘New Paradigm’. Dalam The Military and Democracy in Indonesia: Challenges, Politics, and Power (hlm. 25–30). RAND Corporation.
Schedler, A. (1997, Oktober). Expected Stability: Defining and Measuring Democratic Consolidation (Working Paper 50). IHS Vienna. https://irihs.ihs.ac.at/id/eprint/1026/1/pw_50.pdf
Sundhaussen, U. (1998). The Military: A Threat to Democracy? Australian Journal of Politics and History, 44(3), 329–349. https://doi.org/10.1111/1467-8497.00025