Penulis: Divio Adi Winanda, Ilmu Politik 2018
Pascakejatuhan Orde Baru, Indonesia memasuki babak baru perpolitikan dengan sistem yang lebih demokratis. Namun, transisi demokrasi yang terjadi tidak serta-merta menghapus sisa-sisa rezim lama yang otoritarian. Elit-elit Orde Baru mampu bertahan dan menyesuaikan diri dalam sistem yang baru sebagai oligark dengan pengaruh yang sangat besar terhadap kondisi perpolitikan negara (Winters, 2013). Hal ini memberi dampak negatif bagi demokrasi, di mana kekuasaan sumber daya materi para oligark tidak terkekang oleh sistem demokrasi yang ada, tetapi para oligark itu sendiri yang justru mengekang serta mempengaruhi sistem demokrasi dan rule of law di Indonesia (Winters, 2013). Perpolitikan reformasi akhirnya dikuasai oleh electoral ruling oligarchy yang menciptakan sistem eksklusif dan tertutup di bawah kendali elit dan oligark yang ada (Winters, 2013). Keberadaan oligarki menjadi tantangan tersendiri bagi demokrasi di Indonesia, tetapi bukan berarti oligark dapat terus berdiri tanpa hambatan.
Penulis melihat bahwa kondisi politik yang tercipta akibat pengaruh oligark telah menciptakan enabling environment bagi bangkitnya populisme di Indonesia yang memang dapat tumbuh akibat sistem politik yang bercorak elitis. Populisme sendiri merupakan sebuah ideologi, strategi, atau fenomena yang menciptakan perbedaan antagonistik antara dua kelompok homogen, yakni elit yang korup dan rakyat biasa yang benar atau murni (Mudde & Kaltwasser, 2017). Pandangan populis melihat bahwa sistem politik yang telah dibangun sebelumnya (establishment) dianggap rusak karena hanya melayani kepentingan milik para elit dan tidak mencerminkan kehendak rakyat, sehingga populisme hadir untuk mengubah status quo tersebut (Mudde & Kaltwasser, 2017). Dalam konteks ini, populisme dapat menjadi challenging force bagi para oligark yang selama ini mendominasi perpolitikan Indonesia.
Populisme sendiri telah menjadi perhatian banyak akademisi dalam analisis-analisisnya terhadap perkembangan politik di Indonesia belakangan ini. Kebangkitan populisme di Indonesia mulai terlihat dalam penggunaan retorika-retorika populis oleh Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto untuk menjaring dukungan dalam pemilihan presiden (pilpres) 2014 (Mietzner, 2015). Di tingkat daerah, Pilkada DKI Jakarta 2017 telah menandakan bangkitnya populisme Islam yang berhasil menyingkirkan Basuki Tjahaja Purnama dari kursi petahana (Setijadi, 2017). Fenomena populisme juga mewarnai Pilpres 2019 yang memang mengembalikan rivalitas Jokowi dan Prabowo ke arena politik, di mana sentimen populisme Islam mulai digunakan oleh keduanya setelah melihat efektivitasnya pada Pilkada DKI Jakarta 2017 (Margiansyah, 2019).
Berbagai literatur umumnya mengklasifikasi populisme di Indonesia menjadi tiga jenis, yakni (1) populisme nasionalis Prabowo dengan nilai sauvinisme, anti-demokrasi, serta sentimen anti-asing; (2) populisme teknokratik Jokowi dengan fokusnya kepada pembenahan pelayanan publik seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan; serta (3) populisme Islam yang menciptakan narasi pertentangan antara “umat” Islam dan golongan yang dianggap “kafir” dengan menggunakan sentimen xenophobia dalam retorikanya (Mietzner, 2015; Hara, 2017; Hadiz & Robison, 2017). Fakta-fakta tersebut telah menunjukkan cukup suburnya pertumbuhan populisme di Indonesia yang juga dimanfaatkan sebagai strategi efektif untuk memenangkan kontestasi elektoral. Lantas bagaimana potensi perkembangan populisme di Indonesia selanjutnya? Dan apakah perkembangan populisme di Indonesia dapat mengubah status quo yang kini tengah dikuasai oleh para oligark?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu dilakukan analisis terhadap faktor dan konteks di Indonesia yang mendukung kekuatan gagasan populisme. Mudde dan Kaltwasser (2017) telah menjelaskan bahwa populisme dapat hidup akibat adanya faktor demand dan supply atas populisme itu sendiri. Demand terhadap populisme ditunjang akibat adanya (1) ketimpangan sosio-ekonomi, (2) praktik korupsi, (3) sistem politik yang tidak responsif, serta (4) media dan lingkungan informasi yang suportif terhadap pesan-pesan populis (Mudde & Kaltwasser, 2017). Sementara itu, dalam sisi supply, kemunculan populisme dipengaruhi oleh (1) aktor populis yang mampu mengeksploitasi realita sosial dan menawarkan solusi common sense, (2) aktor populis yang mampu menciptakan sense of crisis dan narasi antagonistik terhadap elit/kelompok tertentu, (3) tidak responsifnya partai politik arus utama, serta (4) faktor historis-kultural dalam hubungan antara elit-rakyat yang ada (Mudde & Kaltwasser, 2017).
Indonesia tampak memiliki karakteristik yang sangat menunjang demand populisme. Sejak era Reformasi, ketimpangan ekonomi dan pendapatan di masyarakat semakin memburuk, di mana indeks Gini Indonesia meningkat drastis dari angka 28,6 persen pada tahun 2000 hingga mencapai puncaknya di angka 40 persen pada tahun 2013 (World Bank, 2020). Di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, indeks Gini Indonesia sempat turun menjadi 37,8 pada tahun 2018, tetapi akhirnya kembali naik ke angka 38,2 persen pada tahun 2019 (World Bank, 2020). Selain itu, permasalahan sosial pun dapat terlihat dari adanya kondisi-kondisi yang membuat suatu kelompok tampak terdiskriminasi di Indonesia. Pembubaran Front Pembela Islam (FPI) melalui surat keputusan bersama (SKB) Menteri tanpa proses pengadilan pada tahun 2020 lalu menjadi contoh tersendiri (CNN Indonesia, 2020). Keputusan tersebut berpotensi meningkatkan simpati publik terhadap FPI yang merupakan simbol populisme Islam dengan nilai-nilai anti-demokratisnya. Hal ini dapat memperparah dan semakin menjustifikasi retorika populis Islam bahwa umat Muslim tengah direpresi oleh negara. Bukan tanpa alasan, karena pemerintahan Presiden Jokowi memang cenderung melawan iliberalisme Islam dengan respons yang iliberal pula (Mietzner, 2018).
Terkait isu korupsi, indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia telah mengalami penurunan belakangan ini dari skor 40 persen pada tahun 2019 menjadi 37 persen pada tahun 2020 (Transparency International Indonesia, 2021). Penurunan tersebut menunjukkan masih maraknya praktik korupsi terjadi, yang diperparah dengan isu-isu negatif mengenai lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu sendiri. Hal tersebut ditunjukkan dengan berhasilnya Revisi Undang-Undang (RUU) KPK yang kontroversial pada tahun 2019, pengangkatan Firli Bahuri yang cacat etik sebagai Ketua KPK, dikeluarkannya SP3 penghentian penyelidikan kasus korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), adanya korupsi bantuan sosial oleh Menteri Sosial Juliari Batubara, pemecatan pegawai KPK yang menangani kasus korupsi besar, serta, yang terkini adanya pemotongan masa tahanan Jaksa Pinangki yang terlibat kasus suap dari terpidana kasus korupsi Djoko Tjandra (Kompas, 2021). Derasnya arus informasi negatif mengenai kasus korupsi di Indonesia semakin memperburuk persepsi masyarakat terhadap komitmen pemberantasan korupsi dari pemerintah, yang pada akhirnya menjadi kondisi ideal bagi tumbuhnya sentimen-sentimen anti-elit.
Gap antara elit dan rakyat di Indonesia juga semakin lebar, di mana elit di legislatif maupun eksekutif cenderung bersifat otonom dari konstituennya. Survei oleh Litbang Kompas menunjukkan bahwa 66,2 persen masyarakat merasa aspirasinya belum diwakili oleh partai politik pilihannya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), lalu 69,2 PERSEN masyarakat juga menyatakan bahwa berbagai revisi UU yang dilakukan pada tahun2019 lalu lebih ditujukan untuk memenuhi kepentingan elit politik dibanding kepentingan rakyat (Kompas, 2019). Lebih lanjut, kelompok oposisi juga mengalami underrepresentation akibat semakin menguatnya koalisi pemerintah di DPR. Hal ini terjadi akibat bergabungnya Partai Gerindra ke dalam koalisi pemerintah setelah sebelumnya menjadi oposisi dalam pemilu, yang membuat 17 juta pemilih Partai Gerindra dengan keyakinan oposisinya terhadap Presiden Jokowi menjadi tidak terwakili lagi di badan legislatif. Sejumlah upaya pengekangan kebebasan sipil yang mengurangi ruang gerak kelompok oposisi juga dilakukan oleh pemerintah, seperti disahkannya UU Ormas, pembatasan akses internet di DKI Jakarta dan Papua, hingga represi aparat bersenjata terhadap masyarakat sipil yang mengkritisi proses legislasi RKUHP dan Revisi UU KPK pada aksi #ReformasiDikorupsi pada tahun 2019 (Freedom House, 2021; Muhtadi, 2020; KontraS, 2019).
Melalui pendekatan Laclauan, populisme dilihat sebagai gerakan emansipatoris karena memberi ruang partisipasi bagi kelompok yang terekslusikan dari sistem untuk mengubah status quo yang korup (Mudde & Kaltwasser, 2017). Kondisi-kondisi status quo yang ada di Indonesia pun menunjukkan “paket lengkap” dari faktor demand yang menyuburkan gagasan-gagasan populisme. Ketimpangan sosial-ekonomi yang tak membaik, minimnya komitmen pemberantasan korupsi, semakin lebarnya jarak antara elit-rakyat, serta tidak tersalurkannya suara-suara oposisi dalam proses politik formal telah tekombinasi dan menjadi konsumsi utama masyarakat dari media massa selama lima hingga tiga tahun terakhir. Dalam hal ini, populisme juga biasanya hadir secara laten dan hanya menunggu kondisi yang tepat untuk bangkit dan termanifestasi menjadi gerakan nyata (Mudde & Kaltwasser, 2017).
Akan tetapi, potensi besar populisme di Indonesia tidak serta-merta membuatnya mudah untuk mengubah status quo yang dikuasai oleh para oligark. Hadiz dan Robison (2017) menjelaskan bahwa kebangkitan populisme bukan berarti mengakhiri dominasi elit-elit oligark terhadap ruang perpolitikan. Populisme dalam hal ini justru dikooptasi oleh oligark menjadi strategi elektoral maupun instrumen “naik kelas” bagi pemain-pemain politik baru untuk bergabung dengan oligarki yang berkuasa (Hadiz & Robison, 2017). Fenomena ini terlihat jelas pada kasus Presiden Jokowi yang mulai terintegrasi dengan lingkaran oligarki. Hal ini tidak mengejutkan mengingat tipe populisme teknokratiknya memang tidak berupaya mengubah status quo sistem maupun mengantagonisasi elit/kelompok tertentu layaknya tradisi populisme pada umumnya (Mietzner, 2015). Aktor populis lainnya seperti Prabowo pun merupakan oligarchic populism karena ia sejatinya berasal dari kalangan oligark itu sendiri, serta narasi-narasi populisnya tidak sepenuhnya anti-oligark karena masih menguntungkan kelompok oligark tertentu yang berada di kubunya (Aspinall, 2015; Hadiz & Robison, 2017).
Dalam hal ini, terdapat aspek sentral supply populisme di Indonesia yang membuat gerakan populis menjadi kurang efektif dalam mengubah status quo, yakni aktor populis itu sendiri. Aktor populis mungkin mampu mengeksploitasi realita sosial dan menciptakan sense of crisis, tetapi pengalaman dari Jokowi dan Prabowo menunjukkan bahwa mereka juga tidak dapat lepas dari lingkaran oligark yang ada. Populisme Islam di sisi lain memiliki potensi yang sangat besar mengingat aktor-aktornya seperti Habib Rizieq jelas berada di luar lingkaran kekuasaan sebagai outsider politik. Namun, populisme Islam tampak hanya menjadi “pengikut” dari aktor populis lainya dan tidak berfokus untuk merebut jabatan politik secara serius, sehingga dinilai masih bimbang untuk bergerak di dalam atau di luar lingkaran negara (Hadiz & Robison, 2017).
Dengan demikian, populisme memiliki konteks sosial, politik, dan ekonomi yang sangat memadai untuk tumbuh di Indonesia, tetapi tidak cukup kuat untuk mengubah tatanan status quo yang dikuasai oleh para oligark. Hal ini dikarenakan supply populisme, yakni para aktor populis pada akhirnya perlu kompromis dengan oligark yang menguasai partai politik di legislatif. Sejalan dengan Mudde dan Kaltwasser (2017), bahwa sistem presidensialisme memang memberi akses mudah bagi aktor populis untuk merebut jabatan politik, namun akan membuatnya sulit menjalankan kebijakan-kebijakannya tanpa dukungan legislatif. Populisme di Indonesia dalam hal ini memang belum terkonsolidasi menjadi partai politik tersendiri, serta hanya menjadi strategi elektoral bagi aktor politik yang membuatnya lemah di cabang legislatif. Berbeda kasusnya dengan Eropa, Amerika Latin, hingga Turki di mana populisme telah termanifestasikan dalam wujud lembaga partai (Mudde & Kaltwasser, 2017; Hadiz & Robison, 2017). Untuk mengubah status quo yang ada, berbagai gerakan populisme di Indonesia mungkin perlu dilembagakan secara serius menjadi partai politik, serta perlu mengusung aktor-aktor populis kharismatik yang benar-benar murni berada di luar lingkaran elit.
Kebangkitan populisme yang murni dan serius mungkin menjadi peluang besar untuk menggulingkan oligarki yang sudah terlampau kuat di Indonesia. Namun, bukan berarti hal ini menjadi solusi yang sepenuhnya ideal. Populisme sejatinya memiliki bahayanya sendiri karena menekankan aspek majority rule dan popular sovereignty secara mutlak sehingga mengancam hak minoritas, rule of law, serta institusi independen pelindung hak fundamental (Mudde & Kaltwasser, 2017). Ancaman ini sangat potensial di Indonesia, di mana demokrasi sebagai konsep abstrak sejatinya didukung oleh rakyat, tetapi nilai-nilai demokrasi liberal terkait perlindungan hak dan kebebasan individu justru tidak mendapat dukungan yang setara dari publik (Warburton & Aspinall, 2019). Populisme memang memberikan ruang partisipasi besar bagi rakyat yang selama ini tereksklusikan dari sistem politik untuk mengubah status quo yang dikuasai oleh para oligark. Akan tetapi, hal ini akan menimbulkan masalah baru bagi demokrasi akibat adanya ancaman iliberal dari populisme itu sendiri. Dengan demikian, kontras dari populisme dan oligarki menjadi dilema tersendiri bagi perpolitikan Indonesia, di mana populisme mungkin menjadi solusi potensial terhadap dominasi oligark, tetapi di saat yang bersamaan juga dapat menyebabkan resesi demokrasi pada masa yang mendatang.
Daftar Pustaka
Buku, Jurnal, dan Artikel Ilmiah
Aspinall, E. (2015). Oligarchic Populism: Prabowo Subianto’s Challenge to Indonesian Democracy. Indonesia, 99, 1-28.
Hadiz, V., & Robison, R. (2017). Competing Populism in Post-Authoritarian Indonesia. International Political Science Review, 38(4), 488-502.
Hara, A. (2017). Populism in Indonesia and Its Threat to Democracy. ASSEHR, 129, 106-111.
Margiansyah, D. (2019). Populisme di Indonesia Kontemporer: Transformasi Persaingan Populisme dan Konsekuensinya dalam Dinamika Kontestasi Politik Menjelang Pemilu 2019. Jurnal Penelitian Politik, 16(1), 47-68.
Mietzner, M. (2018). Fighting Illiberalism with Illiberalism: Islamist Populism and Democratic Deconsolidation in Indonesia. Pacific Affairs, 91(2), 261-282.
Mietzner, M. (2015). Reinventing Asian Populism: Jokowi’s Rise, Democracy, and Political Contestation in Indonesia. Honolulu: East-West Center.
Mudde, C., & Kaltwasser, C. (2017). Populism: A Very Short Introduction. New York: Oxford University Press.
Setijadi, C. (2017). Ahok’s Downfall and the Rise of Islamist Populism in Indonesia. Perspective, 38, 1-9.
Warburton, E., & Aspinall, E. (2019). Explaining Indonesia’s Democratic Regression. Contemporary Southeast Asia, 41(2), 255-285.
Internet dan Media Massa
CNN Indonesia. (2020, Desember 31). Pembubaran FPI dan Potensi Membesarnya Simpati Publik. Cnnindonesia.com. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201230114917-32-587778/pembubaran-fpi-dan-potensi-membesarnya-simpati-publik.
Freedom House. (2021, Juni 18). Indonesia: Freedom in the World 2021. Freedomhouse.org. https://freedomhouse.org/country/indonesia/freedom-world/2021.
Kompas. (2021, Juni 16). Pemangkasan Hukuman Pinangki: Dinilai Janggal dan Lukai Upaya Pemberantasan Korupsi. Kompas.com. https://nasional.kompas.com/read/2021/06/16/08365351/pemangkasan-hukuman-pinangki-dinilai-janggal-dan-lukai-upaya-pemberantasan?page=all.
Kompas. (2019, September 23). Untuk Siapa DPR Bekerja?. Kompas.id. https://www.kompas.id/baca/polhuk/2019/09/23/untuk-siapa-dpr-bekerja.
KontraS. (2019, September 27). Hentikan Aksi-Aksi Brutal dan Represif Aparat terhadap Rakyat yang Bergerak. Kontra.org. https://kontras.org/2019/09/27/hentikan-aksi-aksi-brutal-dan-represif-aparat-terhadap-rakyat-yang-bergerak/.
Muhtadi, B. (2020, Desember 28). Polarisasi dan Ancaman Resesi Demokrasi. Mediaindonesia.com. https://mediaindonesia.com/kolom-pakar/372089/polarisasi-dan-ancaman-resesi-demokrasi.
Transparency International Indonesia. (2021, Januari 28). Indeks Persepsi Korupsi 2020: Korupsi, Respons Covid-19, dan Kemunduran Demokrasi. Ti.or.id. https://ti.or.id/indeks-persepsi-korupsi-2020-korupsi-respons-covid-19-dan-kemunduran-demokrasi/.
World Bank. (2020). Gini Index (World Bank Estimate)-Indonesia. Worldbank.org. https://data.worldbank.org/indicator/SI.POV.GINI?locations=ID.