Penulis: Marvel Yosia Budianto, Ilmu Politik 2021

Beberapa hari yang lalu, penulis dianugerahi dengan oase berupa waktu luang di tengah gersangnya gurun kesibukan perkuliahan. Penulis akhirnya memutuskan untuk menonton film karya Terry George yang berjudul “Hotel Rwanda”. Film ini mengangkat kisah nyata dari genosida yang terjadi di Rwanda yang menceritakan pemburuan suku Tutsi diburu sehingga 75% populasinya dimusnahkan oleh suku Hutu yang menyandang gelar mayoritas. Banyak faktor pendukung di balik kekerasan terhadap kemanusiaan ini, salah satu faktor terpenting yang menjadi perhatian penulis adalah penggunaan ujaran kebencian sebagai senjata propaganda. Ujaran kebencian yang digaungkan melalui radio pada saat itu mengagitasi banyak anggota suku Hutu untuk turun ke jalan dan membantai setiap orang Tutsi yang mereka temui. Tulisan singkat ini didedikasikan untuk mengupas sejarah dan gravitas dari ujaran kebencian serta implikasinya terhadap masyarakat dari waktu ke waktu.
Ujaran kebencian menurut Kent Greenawalt (1996) adalah segala bentuk penghinaan serta julukan (epithets) personal yang sangat kasar dan ditujukan kepada ras, agama, etnis, gender, atau preferensi seksual yang dapat menimbulkan masalah serius bagi teori dan praktik demokrasi. Berdasarkan definisi tersebut maka dapat diketahui bahwa hate speech adalah aksi terencana dan terfokus yang dilakukan suatu pihak atau kelompok (umumnya memiliki posisi dan kekuatan lebih tinggi) terhadap suatu kelompok lain. Skala yang disandang oleh hate speech sangatlah luas karena bisa mempengaruhi hubungan sehari-hari kita dengan tetangga kita maupun memolarisasi negara dan menimbulkan pembersihan etnis seperti yang terjadi di Rwanda.
Apabila kita meninjau melalui pendekatan historis, jejak penggunaan ujaran kebencian sudah ada puluhan, ratusan, bahkan ribuan tahun yang lalu. Seperti yang dilakukan Nero, seorang kaisar romawi di abad ke-1 masehi yang menggunakan kuasanya untuk mengujarkan kebencian terhadap penganut agama kristen di Roma, atau ketika partai Nazi menggaungkan holocaust melalui propaganda-propaganda politiknya. Contoh-contoh ini membuktikan bahwa penggunaan ujaran kebencian sudah lekat dengan dinamika politik dunia dan dapat dijadikan senjata yang sangat berbahaya bagi penguasa untuk mendorong agenda politiknya. Dari contoh tersebut mungkin kita dapat berpendapat bahwa penggunaan ujaran kebencian hanya efektif di negara-negara otokrasi dan totaliter, namun apakah benar demikian?
Nyatanya, dalam masyarakat demokratis pun ujaran kebencian masih sering ditemui. Justru penggunaan ujaran kebencian menjadi masif karena dalam masyarakat demokratis, kebebasan berpendapat adalah untuk semua orang dan semua hal. Tak jarang maka kebebasan ini disalahgunakan untuk mengujarkan kebencian. Kasus ujaran kebencian yang saat ini masih nampak dalam negara demokrasi dapat kita lihat di sekitar kita, betul sekali, di Indonesia. Keberagaman yang dimiliki Indonesia berpotensi menimbulkan relasi kuasa yang timpang antara kelompok mayoritas dan minoritas. Relasi kuasa ini memberikan landasan yang mulus bagi ujaran kebencian untuk lepas landas. Penggunaan ujaran kebencian secara politis mungkin tidak kentara seperti di negara otokrasi, tetapi banyak elemen-elemen ujaran kebencian yang dipakai secara implisit melalui kampanye politik, baik secara langsung ataupun melalui media sosial. Ujaran kebencian menjadi senjata “mematikan” yang digunakan ketika Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 yang membuat masyarakat kita sangat terpolarisasi oleh karena ujaran-ujaran yang menggiring opini publik.
Tulisan singkat ini penulis harap dapat menarik perhatian pembaca agar tidak mengentengkan dampak yang dimiliki oleh ujaran kebencian. Pemahaman soal definisi, konteks historis, dan juga implementasi ujaran kebencian di dalam masyarakat adalah bekal bagi kita untuk melawan ujaran kebencian secara kolektif. Genosida Rwanda yang menghilangkan lebih dari 800.000 nyawa dalam selang waktu 100 hari merupakan peringatan bagi kita untuk terus memelihara keharmonisan antar suku, agama, ras, dan etnis di Indonesia.
Referensi
Farisa, Fitria Chusna. (Agustus 8, 2020). Ujaran Kebencian di Pilkada Meningkat, Ini Alasannya. Kompas. https://nasional.kompas.com/read/2020/08/13/20413091/ujaran-kebencian-di-pilkada-diprediksi-meningkat-ini-alasannya?page=all
Kibler, M. Alison. ( Maret 19, 2015). The Long History of Hate Speech. History News Network. https://historynewsnetwork.org/article/158866
Shaw, Eric. (2012). The Rwandan Genocide: A Case Study.
Wilkes, Jonny. (Juni 9, 2020). Emperor Nero : the Tyrant of Rome. History Extra. https://www.historyextra.com/period/roman/emperor-nero-facts-biography-tyrant-crimes-accomplishments/