Jalan Terjal Demokrasi Kita

Penulis: Mukhlishul Amal Fasha, Ilmu Politik UI 2021

Kemunduran Presiden Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 menandai tonggak sejarah baru bagi Bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia memulai era reformasi sebagai negara demokrasi setelah 53 tahun berada dalam cengkeraman kediktatoran Orde Lama dan Orde Baru. Kedua rezim tersebut memiliki obsesi yang kuat terhadap kekuasaan, sehingga terjadi banyak penangkapan terhadap lawan-lawan politiknya karena dianggap subversif, pengekangan terhadap kebebasan sipil, dan bahkan penyimpangan terhadap konstitusi. Kesewenang-wenangan ini memicu kemarahan rakyat yang mencapai puncaknya pada tahun 1998 yang ditandai dengan terjadinya protes besar-besaran selama berminggu-minggu yang kini dikenal sebagai Gerakan Reformasi.

Gerakan Reformasi tidak hanya bertujuan untuk melengserkan kekuasaan Soeharto. Namun, lebih dari itu, reformasi juga memiliki cita-cita untuk merestrukturisasi negara di segala bidang dalam rangka membentuk peradaban Indonesia yang lebih baik. Cita-cita yang mulia itu tercermin dalam agenda-agenda yang diusung, yaitu: adili Soeharto beserta kroni-kroninya, penghapusan dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), penerapan otonomi daerah seluas-luasnya, penegakan supremasi hukum, dan pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Dalam mewujudkan agenda-agenda yang telah disinggung, tentu saja masih banyak tantangan yang harus dihadapi oleh bangsa ini. Ratusan tahun dijajah ditambah 53 tahun di bawah pemerintahan yang otoriter membuat kita harus berhati-hati dalam beranjak dari “kedaulatan raja” menjadi “kedaulatan rakyat.” Transisi tersebut tidak hanya bertujuan untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, tetapi juga lebih dari itu, untuk membentuk masyarakat yang bebas dan merdeka di segala segi kehidupan. Oleh karena itu, mentalitas kita sebagai masyarakat yang terjajah harus ditinggalkan secara perlahan. Kemudian, kita juga harus bergerak menuju mentalitas bangsa demokratis yang hidup dengan kebebasan dan kemerdekaan.

Dalam realitasnya, sampai saat ini energi reformasi masih belum kuat untuk mendorong perubahan ke arah yang dicita-citakan. Semangat memberantas KKN hanya menjadi sekadar slogan yang terbang entah ke mana. Bahkan, 5 kasus korupsi terbesar sepanjang sejarah Indonesia semuanya terjadi pada era reformasi dan melibatkan pejabat-pejabat tinggi negara, seperti dalam kasus korupsi e-KTP.

Kasus e-KTP berawal dari rencana Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk mentransformasi KTP konvensional menjadi KTP berbasis elektronik. Namun, dalam prosesnya, terdapat kejanggalan-kejanggalan yang mengindikasikan terjadinya praktik korupsi. Akhirnya setelah diadakan serangkaian penyelidikan, pelaku-pelaku yang terlibat ditangkap dan diadili.

Tak main-main, pelaku yang ditangkap merupakan pejabat tinggi seperti Sugiharto dan Irman, keduanya merupakan pejabat Direktur Jenderal (Dirjen) Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil), Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Setya Novanto, dan Markus Nari, anggota DPR 2009-2014. Keterlibatan pejabat-pejabat tinggi negara dalam kasus megakorupsi ini merupakan hal yang memalukan dan merusak semangat reformasi struktural lembaga negara.

Kerugian negara akibat kasus korupsi e-KTP ini mencapai Rp2,3 triliun. Kerugian ini berdampak luas yang ditunjukkan dengan masih banyaknya masyarakat yang terkendala dalam mengakses fasilitas-fasilitas publik karena ketiadaan identitas yang sah. Bahkan, kasus korupsi ini juga bisa menghambat partisipasi warga negara dalam Pemilihan Umum (Pemilu) karena untuk  terdaftar, pemilih harus menyertakan KTP sebagai syarat. Oleh karena itu, kasus korupsi e-KTP secara implisit mencederai demokrasi.

Secara umum, bisa dikatakan bahwa kasus korupsi yang dahulu terjadi hanya tersentralisasi di lingkaran pejabat tinggi; tetapi, kini beramai-ramai dilakukan oleh pihak-pihak penyelenggara negara dari tataran atas sampai bawah. Berdasarkan laporan dari Indonesia Corruption Watch (ICW), pada semester 1 tahun 2020, kasus korupsi anggaran desa menempati urutan pertama terbanyak dari kasus korupsi di berbagai sektor, yaitu sebanyak 44 kasus. Bahkan, pada tahun 2017, kasus korupsi dana desa mencapai 96 kasus.

Potensi korupsi penyelenggara negara itu malah diperbesar dengan direvisinya Undang-Undang (UU) lembaga antikorupsi yang lahir pascareformasi, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Upaya revisi UU KPK sebenarnya dilatarbelakangi oleh niat yang sangat baik, tetapi implementasi niat itu tidak dijabarkan dengan tepat melalui pembentukan sistem yang kuat. Beberapa poin yang terdapat dalam UU KPK menimbulkan skeptisisme publik yang mengkhawatirkan. Namun, revisi ini malah akan melemahkan KPK sebagai salah satu aktor utama dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

Dalam kekhawatirannya terhadap UU KPK, fokus utama publik adalah potensi tergerusnya independensi KPK dan pengetatan pengawasan, sehingga dikhawatirkan aturan-aturan birokrasi malah mempersulit upaya penanganan korupsi. Adapun poin-poin yang bermasalah yang dimaksud antara lain:

  1. Pasal 21 ayat (1) UU KPK menetapkan bahwa KPK terdiri atas Dewan Pengawas yang berfungsi mengawasi tugas dan wewenang KPK. Ketentuan itu merupakan hal baru, karena di UU KPK yang lama tidak ada Dewan Pengawas. Keberadaan Dewan Pengawas ini dikhawatirkan akan menghambat upaya pemberantasan korupsi karena dalam pasal 37B dituliskan secara spesifik bahwa Dewan Pengawas memiliki wewenang untuk memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan.

Keberadaan Dewan Pengawas mengundang berbagai pertanyaan dari banyak kalangan terhadap persoalan kapasitas, integritas, dan kapabilitas individu-individu yang akan ditunjuk untuk menjabati posisi tersebut. Karena manusia tidak luput dari kesalahan, penyalahgunaan wewenang bisa saja terjadi. Apalagi Dewan Pengawas ini juga diawasi oleh DPR yang dikenal publik sebagai lembaga paling korup.

Hasil survei “Global Corruption Barometer 2020” (GCB) oleh Transparency International Indonesia menunjukkan bahwa DPR dipersepsikan sebagai lembaga paling korup di Indonesia. Hasil survei ini semakin menguatkan penolakan publik terhadap UU KPK, khususnya penolakan terhadap keberadaan Dewan Pengawas dalam tubuh KPK.

  • Pasal 24 ayat (2) UU KPK menyatakan bahwa pegawai KPK merupakan bagian dari birokrasi struktural di bawah kekuasaan eksekutif. Peralihan status kepegawaian ini berpotensi menggerus independensi KPK, karena KPK juga mengawasi kekuasaan eksekutif dalam menjalankan tugasnya. Jika KPK dilebur ke dalam kekuasaan eksekutif, dikhawatirkan akan ada aturan-aturan birokrasi yang menghambat pemberantasan korupsi itu sendiri. Oleh karena itu, publik menganggap bahwa independensi KPK harus dipertahankan dengan cara membatalkan pasal 24 UU KPK ini.
  • Pasal 40 UU KPK menyatakan bahwa penyidikan dan penuntutan dugaan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang tidak selesai dapat dihentikan paling lama dalam jangka waktu 2 tahun. Jangka waktu ini sangat singkat karena penyidikan dan penuntutan kasus korupsi seringkali kompleks, sehingga menyulitkan penyidik dalam menemukan bukti-bukti baru.

Selain pelemahan pemberantasan korupsi, di era reformasi juga masih banyak kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang belum juga diusut tuntas. Kasus 1965, Marsinah, Widji Thukul, Semanggi, penculikan aktivis 1998, serta kasus pelanggaran HAM di Aceh dan Papua, merupakan segelintir kasus yang mengalami kebuntuan. Bahkan, keluarga korban pelanggaran HAM sampai kini terus melakukan aksi rutin yang disebut “Aksi Kamisan” pada hari Kamis. Unjuk rasa tersebut dilakukan untuk meminta kejelasan dari pemerintah terhadap penyelesaian kasus-kasus yang menimpa keluarga mereka.

Di era reformasi, pelanggaran HAM yang diakibatkan oleh konflik antargolongan juga masih terjadi. Kerusuhan Ambon, Kerusuhan Poso, Kerusuhan Sampit, Kerusuhan Sampang dan lain-lain adalah gambaran besar yang memperlihatkan bahwa perubahan kondisi menuju keadilan dan kebebasan masih suram. Diperlukan pendekatan negara, sebagai pihak yang mempunyai kekuasaan kuat, untuk mencegah peristiwa-peristiwa serupa terulang.

Konflik-konflik yang telah disinggung disebabkan oleh sikap primordialisme masyarakat yang masih mengakar kuat, sehingga menyebabkan kecemburuan sosial. Kecemburuan sosial itu antara lain bersumber dari permasalahan ekonomi dan distribusi kekuatan politik. Seperti diketahui, ketimpangan ekonomi dan ketimpangan distribusi kekuatan politik sangat sensitif dan dapat memicu konflik di dalam masyarakat.

        Seperti pada konflik Aceh, konflik yang terjadi berakar dari ketidakpuasan masyarakat di daerah terhadap pemerintah pusat yang dinilai gagal dalam memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi warga Aceh. Apalagi, akar konflik diperuncing dengan adanya kekuasaan yang tersentralisasi di Pulau Jawa pada masa Orde Baru. Oleh karena itu, kesejahteraan masyarakat harus diwujudkan dalam rangka pencegahan konflik, bukan hanya di daerah tertentu tetapi juga di seluruh Indonesia. Hal ini merupakan pekerjaan rumah bagi kita semua yang ingin segera menyelesaikan ketimpangan yang ada.

         Pada masa reformasi, kehidupan warga negara juga terancam dengan keberadaan kelompok-kelompok teroris. Kelompok teroris merupakan ancaman baru bagi keamanan dunia pada abad ke-21. Menurut Ekaterina Stepanopa, penyebab munculnya terorisme adalah dirasakannya kehinaan oleh beberapa pihak di hadapan laju fenomena westernisasi yang semakin masif memasuki sendi-sendi kehidupan masyarakat. Fenomena tersebut secara perlahan menggerus nilai-nilai lama dan menggantikannya dengan nilai-nilai baru yang dibawa oleh kebudayaan Barat. Selain itu, Samuel Huntington dalam teorinya yang dinamakan Clash of Civilization menyatakan bahwa konflik setelah Perang Dingin akan disebabkan oleh perbedaan latar belakang kebudayaan dan agama pihak-pihak yang ada.

       Kemudian, berbagai kelompok teroris telah beberapa kali melaksanakan aksinya. Salah satu aksi terbesar yang pernah dilakukan oleh mereka adalah peristiwa Bom Bali 1 yang terjadi pada tanggal 12 Oktober 2002, dengan korban tewas sebanyak 202 orang. Tahun-tahun berikutnya diwarnai oleh rentetan peristiwa terorisme lain, seperti Bom JW Marriot 1 dan 2, Pengeboman Jakarta 2016, Pengeboman Surabaya 2018, dan Pengeboman Katedral Makassar 2021. Masifnya gerakan terorisme di Indonesia menunjukkan bahwa kehidupan masyarakat belum sepenuhnya terbebas dari ketakutan.

       Indonesia juga belum sepenuhnya bebas dari fanatisme politik dan polarisasi masyarakat. Pemilu 2014 dan 2019 merupakan peristiwa yang sangat membelah masyarakat, dengan adanya fanatisme dan militansi yang sangat tinggi dalam berpolitik. Efek dari fanatisme itu memunculkan dampak-dampak buruk seperti meraknya berita hoaks, fitnah, dan ujaran kebencian terhadap golongan tertentu. Hal ini memberikan gambaran bahwa masyarakat kita masih tidak bisa menerapkan common sense dalam berdemokrasi. Tentunya, pendidikan politik adalah hal yang mutlak dan harus disosialisasikan dalam rangka mewujudkan demokrasi yang sehat.

       Di era reformasi, masih banyak pekerjaan rumah yang harus kita selesaikan. Cita-cita dan agenda reformasi harus terus menerus kita kawal; lebih penting lagi, semangat kita dalam mengawalnya tidak boleh berkurang sedikitpun. Oleh karena itu, sudah menjadi tugas kita sebagai intelektual di masyarakat untuk memelihara demokrasi di negara ini, serta mendidik masyarakat demi mencapai kehidupan yang lebih baik di masa depan.

Referensi

Rosana, C. “Ini Pasal-pasal UU KPK Baru yang Berpotensi Hambat Pemberantasan Korupsi. Tempo.” https://nasional.tempo.co/read/1459071/ini-pasal-pasal-uu-kpk-baru-yang-berpotensi-hambat-pemberantasan-korupsi (diakses pada 29 September 2021).

Movanita, A. “Tak Sekedar Rugikan Keuangan Negara, Korupsi e-KTP Dinilai Cederai Demokrasi.” https://nasional.kompas.com/read/2017/04/02/16304531/tak.sekedar.rugikan.keuangan.negara.korupsi.e-ktp.dinilai.cederai.demokrasi?page=all (diakses pada 29 September 2021).

Prabowo, H. “Survei Transparansi Internasional: DPR Lembaga Terkorup di RI.” https://tirto.id/survei-transparansi-internasional-dpr-lembaga-terkorup-di-ri-f7Lb (diakses pada 29 September 2021).

Bayu, D. “Korupsi Dana Desa Paling Banyak Terjadi Selama Semester I//2020.” https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/09/30/korupsi-dana-desa-paling-banyak-terjadi-selama-semester-i2020 (diakses pada 29 September 2021).

Sukendar. “Akar Terorisme Dalam Islam?” Teologia. Vol. 23 No. 2 (2012), hlm. 418-421.