Mempertimbangkan Kewarganegaraan Terbatas


Penulis: Bayu M. Noor, Ilmu Politik 2019

Pertama-tama, saya ingin mengajak kita semua untuk memikirkan kembali situasi dan kondisi demokrasi kita, saat ini, baik di lingkup nasional maupun dunia. Bagaimana kondisi demokrasi kita akhir-akhir ini. Membayangkan gambaran terhadap kondisi demokrasi di Indonesia sendiri untuk memulai artikel ini, saya pribadi melihat adanya kecenderungan bagi warga di sini untuk menunjukkan sikap yang cenderung sporadis dan kontradiktif dari waktu ke waktu.

Dalam rangkaian demonstrasi terhadap UU Ciptaker yang bergolak pada tahun 2020 silam, kita bisa melihat adanya demonstrasi besar-besaran yang seolah-olah mewakili aspirasi nasional. Namun, seiring berjalannya waktu, asumsi tersebut bagaikan ditopang oleh tiang yang tersusun dari garam-garam yang rapuh. Untuk artikel kali ini, saya menolak untuk menjabarkan data statistika untuk kepentingan memuluskan retorika yang menjadi sifat utama dari artikel ini.

Mengapa asumsi “perwakilan” yang diwujudkan oleh gelombang-gelombang demonstrasi yang telah disinggung terkesan bagaikan bualan besar yang rapuh? Mengapa saya mengatakan demikian? Tanpa terlalu berkutat dengan data, saya ingin mengajak para pembaca untuk mengingat tanggapan-tanggapan yang muncul setelah pergerakan sipil tersebut mencapai akhir yang tidak memuaskan.

Para pembaca yang memerhatikan jagat dunia maya pasti akan teringat bahwa tidak sedikit dari warga Indonesia berbalik mengutuk para demonstran karena ulah mereka yang dianggap “anarkis” dan “menganggu.” Tajuk-tajuk pemberitaan yang bermuat substansi dari diskursus nasional yang terjadi mengenai UU yang dipertentangkan tertutup oleh celotehan-celotehan antipati masyarakat terhadap para demonstran yang dianggap menganggu lajunya aktivitas perekonomian mereka. Isu ini sangat kentara dalam kontroversi yang mengikuti perusakan beberapa fasilitas umum seperti halte Transjakarta.

Dalam kasus ini, kita berhadapan dengan dua warganegara yang berbeda dalam konteks pemikiran dan pandangannya terhadap peristiwa yang sedang bergolak di hadapan mereka. Di satu sisi, kita melihat kehadiran para mahasiswa, buruh, tani, dan banyak elemen masyarakat lainnya yang sangat militan dalam mendukung serangkaian nilai-nilai politik fundamental yang dilanggar oleh UU Ciptaker; banyak darinya merupakan nilai-nilai demokratis tentunya, terlihat dalam penegasan kata “demokrasi” secara berulang oleh pihak-pihak yang melakukan pertentangan.

Namun, di sisi yang lain, kita melihat adanya pihak-pihak dengan orientasi lebih pragmatis dan ekonomi yang mengutuk gangguan-gangguan terhadap upaya mereka dalam menjalankan kehidupan perekonomiannya. Mereka tidak begitu peduli terhadap ricuhnya pusaran yang melibatkan situasi dan kondisi perpolitikan negaranya. Ya, memang beberapa pihak dapat dibenarkan apabila mereka berpendapat bahwa perilaku ini wajar-wajar saja. Lagipula, kepentingan para individu di suatu masyarakat memang berbeda-beda secara alamiah; begitupun dengan prioritasnya.

Dengan kesadaran tersebut, maka saya tidak berupaya untuk menyalahkan kelompok masyarakat yang kedua. Hanya saja, saya merasa bahwa kedudukan politik mereka harus dievaluasi. Harus ada pemikiran ulang terhadap hak-hak perpolitikan mereka, terutama dalam konteks pembuatan dan pelaksanaan kebijakan; termasuk proses elektoral yang mendahului dua proses yang telah disinggung sebelumnya.

Namun, sebelum kita masuk ke dalam evaluasi yang saya bayangkan. Izinkan saya untuk pertama memaparkan beberapa data-data pendukung yang dianggap perlu untuk dipaparkan agar artikel ini tidak bagaikan tong kosong yang nyaring bunyinya. Dengan mempertahankan komitmen saya di awal untuk tidak memberikan bobot yang terlalu banyak, saya akan memunculkan beberapa hasil survei yang sejalan dengan pemaparan yang telah dilakukan sejauh ini.

Mari kita mengalihkan pandangan kepada hasil survei yang telah dihimpun oleh Pew Research Center. Dalam survei yang dilakukan pada tahun 2019 silam, lembaga tersebut menemukan bahwa tingkat kepuasan masyarakat terhadap demokrasi – sebagai sistem politik – memang dikaitkan oleh masyarakat terhadap dua hal; di antara banyak lainnya, dua yang akan disinggung lah yang diberikan penekanan. Dua variabel tersebut adalah kinerja ekonomi dan pemenuhan hak individu serta kinerja dari sistem demokrasi itu sendiri; dua variabel yang terakhir dijadikan satu.

Yang menjadi menarik adalah, individu-individu yang disurvei baik di Indonesia maupun dunia lebih menilai sistem demokrasinya apabila dikaitakan dengan kondisi perekonomian ketimbang variabel yang satunya lagi. Di Indonesia sendiri, 56 persen responden menganggap demokrasi yang sedang dijalankan buruk imbas kinerja ekonomi negara yang tidak baik. Sementara itu, hanya 45 persen yang menganggap demokrasi di Indonesia buruk karena perlindungan dan pemenuhan terhadap hak mereka untuk berpendapat sedang terkendala. Intinya, banyak orang sekali lagi lebih memikirkan kondisi perekonomian negara mereka sendiri, dan cenderung mengabaikan pentingnya aspek fundamental “demokrasi;” salah satunya adalah perlindungan dan pemenuhan terhadap hak untuk berpendapat.

Berhadapan dengan situasi seperti ini, saya merasa perlu untuk meninjau kembali pemberian hak politik yang kini diberikan secara tidak diskriminatif. Bukan karena saya memegang prasangka tertentu, tetapi karena saya berkaca dengan kenyataan bahwa pihak-pihak yang diberikan hak tidak menggunakannya; atau bahkan menunjukkan antusiasme untuk menggunakannya sama sekali.  

Mengenai hal itu, saya teringatkan oleh novel berjudul Starship Trooper yang ditulis oleh Robert A. Heinlein – seorang veteran angkatan bersenjata Amerika Serikat. Dalam novel tersebut, beliau membangun dunia perpolitikan yang cukup unik untuk dijadikan latar belakang ceritanya.

Karakter-karakter yang hadir di dalam novel tersebut hidup di dalam masyarakat yang menganggap bahwa hak politik bukanlah suatu hal yang bisa diberikan secara cuma-cuma. Dengan kata lain, kita, atau mereka lebih tepatnya, diharuskan untuk berjasa terlebih dahulu sebelum memperoleh status kewarganegaraan yang memuat hak untuk memilih dalam suatu kompetisi elektoral – hak untuk memilih, sebuah aspek fundamental di dalam demokrasi.

Novel Heinlein membawa perkara ini ke tingkat yang sangat ekstrem. Status kewarganegaraan yang telah disebut berulangkali hanya bisa didapatkan oleh seseorang yang telah menjalankan masa bakti “federal service” di dinas ketentaraan. Namun, keekstreman tersebut dimoderasikan olehnya dalam komentar-komentar yang dibuat setelah Starship Trooper dipublikasi. Dalam komentar tersebut, Heinlein mengatakan bahwa para “veteran” yang dianggap telah menjalankan “federal service” juga bisa berasal dari dinas-dinas selain ketentaraan, seperti pegawai negeri sipil.

Dari tentara atau bukan, premis di baliknya tetap sama. Pemerintah yang berkuasa di atas masyarakat yang ada di dalam novel Heinlein berpandangan bahwa hak untuk berpolitik – terutama memilih – hanya bisa diberikan kepada individu-individu yang telah berjasa. Pemenuhan jasa tersebut menunjukkan bahwa seseorang memiliki kepedulian terhadap masyarakat asalnya dan sistem politik yang sedang dijalankan oleh masyarakat tersebut. Lebih penting lagi, kepedulian tersebut muncul tidak karena seseorang telah merasakan manfaat material dari skema perpolitikan yang terbangun, tetapi karena dirinya cukup merasa bahwa sistem yang sedang dilaksanakan penting untuk memastikan keberlangsungan masyarakatnya.

Bagaimana Heinlein menunjukkan bahwa kepedulian semacam itu telah terbangun dalam karakter-karakter yang hadir? Dirinya menunjukkan hal tersebut dengan kenyataan bahwa para karakter telah mengorbankan jiwa dan raganya untuk memastikan bahwa masyarakatnya bisa terus hidup dan berkembang. Dengan darah di ladang pertempuran melawan bangsa serangga di luar angkasa; dan dengan keringat di lorong-lorong administrasi yang memuluskan pemerintahan negarannya di Bumi dan planet-planet lainnya. Secara singkat, keinginannya untuk mengorbankan diri sudah cukup untuk membuktikan bahwa dirinya peduli dengan masyarakat. Demikian, karakter-karakter Heinlein lebih dari memiliki hak untuk berpolitik; terutama dalam konteks pembuatan dan pelaksanaan kebijakan yang mengatur kehidupan di masyarakatnya.

Balik lagi ke dalam studi kasus yang di awal telah saya jabarkan untuk meninjau ulang “demokrasi” kita, saya melihat bahwa tidak semua orang memiliki semangat dan tenaga, atau bahkan niat untuk melindungi sistem politik yang kini mengatur kehidupan mereka. Lantas, buat apa masyarakat repot-repot memberikan hak kepada mereka untuk melaksanakan kegiatan politik?

Namun, pada saat yang sama, kita juga menyadari bahwa kesadaran politik bukanlah suatu hal yang bisa dipaksakan. Kita juga harus menyadari bahwa kepentingan dan prioritas yang dimiliki oleh setiap individu secara alamiah memang berbeda. Sehingga, saya harus tegaskan bahwa tujuan artikel ini bukanlah untuk mengutuk kehadiran kelompok-kelompok tersebut, tetapi terhadap pemberian hak politik yang diberikan secara cuma-cuma kepada mereka.

Mari kita tinjau kembali rancangan politik yang kini sedang ditegakkan. Apabila artikel saya diamini, kita semua bisa melihat bahwa pemberian hak politik secara universal merupakan suatu hal yang sia-sia. Oleh karena itu, ada baiknya kita berikan kepada anggota-anggota masyarakat yang memang berniat, bersemangat, dan bergiat untuk menegakkan sistem perpolitikan mereka, beserta norma-norma yang ada di dalamnya. Kewarganegaraan harus diberikan secara terbatas, dan hanya kepada individu-individu yang telah membuktikan dirinya!

Daftar Referensi

Gifford, James. “The Nature of “Federal Service”in Robert A. Heinlein’s Starship Troopers.” https://www.nitrosyncretic.com/rah/ftp/fedrlsvc.pdf (diakses pada 10 November 2021).

Wike, Richard et.al. “Many Across the Globe Are Dissatisfied With How Democracy Is Working.” https://www.pewresearch.org/global/2019/04/29/many-across-the-globe-are-dissatisfied-with-how-democracy-is-working/ (diakses pada 10 November 2021).